"Di sini pos rondanya ramai ya?" komentar Bu Katrina.
"Siang-malam ramai. Mudah-mudahan pos ronda dan lingkungan ini dijauhkan dari perilaku ketagihan miras seperti yang terjadi di Kabupaten bandung ya.. . . .." Â ucap Bu Tin beralih tema pembicaraan.
"Iya dong. Jangan sampai tersihir oplosan. . . !" Yu Lik menyambut.
"Apapun yang dioplos itu jelek," sambung Nek Nurla.
"Di Cicalengka korbannya banyak. Pembuatanya buron, sejumlah penjualnya sudah ditangkap. Mudah-mudahan tidak ada lagi korban yang jatuh," ucap Mak Fatmah menambahkan.
Yu Lik tidak mau kalah. "Semalam kudengar dari berita tv, si pengoplos menambahkan tiner dalam minuman itu. . . . .!"
"Pantesan. Korbannya langsung tewas. Ada yang sampai berhari-hari tersiksa hebat sebelum akhirnya tewas. Ngeri . . . ah!" komentar Bu Katrina.
Nek Nurla hanya ikut mengangguk-angguk. Ekspresi wajahnya focus pada  kunyahannya. Sepotong gehu dengan cabe rawit luar biasa enak. Namun karena sebagian giginya goyah dan tinggal beberapa, mengunyah pun sulit.
Ia harus konsentrasi betul agar bukan justru giginya yang tanggal lagi. Untuk menunjukkan keaktifannya ikut grup botram ia berkomentar juga, Â "Mending juice jambu batu daripada minum miras oplosan itu. Itu minuman cari mati. Jangan deh . . !"
Sementara itu Mbak Murwo baru menyadari ada pembeli warga baru. Ia pun seketika terbelalak. Otaknya cepat berputar, dan ingat pada omongan Kang Murbani dan Wak Ja'far beberapa waktu lalu. Maka ia mendekati dua pemain catur, dan spontan ia berseru: "Kang Murbani, Wak Ja'far. . . Â . ! Nah, ketahuan sekarang. Aku dengar pembicaran kalian tadi, mau berkenalan dengan warga baru kita ya?"
Kang Murbani dan Wak Ja'far tentu saja kaget. Juga malu, sebab pembicaran mereka rupanya didengar oleh Mbak Murwokanti, si penjaja jamu keliling yang sudah mengembangkan usaha menjadi penjual lotek, rujak, es joice dan gorengan yang menetap di sisi pos ronda.