Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kebencian Abu Lahab Melekat pada Diri Mas Amin (1)

25 Maret 2018   07:27 Diperbarui: 25 Maret 2018   08:49 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gerobak tukang ketoprak (dokpri)

Mas Amin Kartamin ketemu Bang Safril. Terjadi dialog untuk urusan hari ini, sedangkan urusan masa lalu dikesampingkan dulu. Begini dialognya:

"Mas. . . .!" seru ucap Bang Safril ketika menghentikan Mas Amin yang lagi kerepotan mendorong gerobaknya mengatasi polisi tidur yang lumayan tinggi di gang becek untuk menuju Jalan Mlandingan di depan sana.

"Iya, Bang, di sana. Di samping pos ronda, ada tempat duduknya. . . .!"

"Tempat ngerumpi itu?"

Bang Safril mengikuti langkah Mas Amin. Sesekali ikut mendorong. Hingga tiba di samping pos ronda 'klub banting kartu'. Dalam hitungan menit, Mas Amin sudah memasang tenda, meja dan kursi plastik.

 "Ketoprak dua, Mas. Sambelnya dibanyakin. . . .!" ucap Bang Safril dengan sikap tidak sabar.  

"Oke, Bang. Bukan hanya sambelnya, pasti juga yang lainnya minta dibanyakin. Lumayan bisa kenyang sampai sore. . .!" jawab Mas Amin setengah menyindir, dan tertawa.

 "Iya, sih. Ngirit, tidak perlu makan siang. . .!" Bang Safril ikut terkekeh. "Tapi kalau dirasa-rasa, jawaban Mas Amin menyindir juga ya?"

"Bahkan disindir pun banyak yang pura-pura tidak tahu. Alias kura-kura dalam perahu. Ada yang gara-gara ditagih utangnya ngatai saya seperti Abu Jahal, Abu Lahab, abu gosok, dan entah siapa lagi. Belum sampai ditagih sudah merasa sendiri. Ya, dilunasi  dong, diangsur. Jangan ngutangnya ngebet, giliran kena tagihan berkelit seperti pemain silat kehabisan jurus. . . . hehe!"

"Tapi utang saya sudah lunas 'kan, Mas?"

Mas Amin tidak menjawab. Ia sibuk dengan urusannya. Kedua tangannya cekatan meracik makanan yang dipesan. Ketupat dipotong-potong, ambil taoge, comot bihun, tahu dipotong empat, masukkan telur rebus potong dua, dan bawang goreng. Tiap pedagang seing punya varian bahan yang berbeda. Masukkan semua ke dalam piring, lalu timpa dengan guyuran bumbu kacang cair. Terakhir, taburi dengan bunga tabur . . .  ehh, bukan; dengan kerupuk rasa bawang.

"Nih, makan dulu yang kenyang. Soal utang dipikir nanti. . . . !" ucap Mas Amin seraya menyodorkan dua piring ketoprak yang menggunung seperti hendak meletus itu. "Tapi sepirig lagi untuk siapa?"

"Aku sendiri yang makin, Mas. Tiga hari ini makanku tidak terurus. Nah, sekarang kesempatan bikin pembalasan. Mumpung ada orang yang terlalu baik untuk menolak orang yang berutang. . . .!" ucap Bang Safril sambil tertawa ngakak. Lalu secepat itu ia melahap isi piring, dengan semangat mengunyah yang luar biasa geram dan dendam. Mungkin benar dua hari ia tidak makan. Mungkin lantara tidak ketemu dengan warung nasi yang dapat diutang?

Pembeli lain berdatangan. Mas Amin tidak sempat lagi memikirkan Bang Safril dengan dua piring ketoprak yang sudah dihadapinya. Sambil meracik ketoprak untuk piring berikutnya, ia ganti melayani obrolan, gunjingan, dan komentar pembeli. Soal Amien Rais yang menuduh Jokowi ngibul soal pembagian sertifikat tanah, juga mengenai Prabowo yang bilang Indonesia bubar tahun 2030 berdasarkan novel Ghost Fleet, atau si Anies Baswedan yang ribet ngurusin Alexis setelah pontang-panting ngurusin dan kemudian mengganti PKL di Jalan Tanah Abang.

"Nah, ramai sekali 'kan? Kesimpulan pembicaraan semua itu apa?" ucap Mas Amin setelah lima orang ibu duduk tekun berurusan piring ketoprak masing-masing, dan tidak berbicara kepatah-katapun.

Sementara itu Bang Safril yang sudah menghabiskan satu piring kemudian meneguk segelas air teh pahit, dan ganti berkomentar: "Intilah, Mas Amin, jangan mengikuti perilaku Abu Lahab yang menyimpan kebencian begitu mendarah-daging dalam hatinya. Abu Lahab, Abu Jahal, abu gosok memang begitu tabiatnya. Tempatnya di neraka jahanam. . . . !"

*

Mas Amin Kartamin sudah lama menjadi tukang ketoprak. Ia mendorong sendiri gerobaknya untuk berkeliling mencari pembeli. Dulu pernah, isteri dan anak-anaknya bergantian membantu. Namun setelah meeka punya kesibukan sendiri, Mas Amin dibiarkan bersusah-payah sendiri. Krismon belasaan tahun silam membuatnya banting stir, dari pengusaha perabotan kreditan menjadi penjual makanan. Alasannya, usaha kredit banyak yang tidak bayar, sebagian nunggak, lainnya lari terbirit-birit (kata dasarnya 'birit'. 'terbirit' diartikan terberak sedikit alias tercirit --KBBI), dan bahkan beberapa justru menantang berkelahi ketika ditagih.

"Jangan mentang-menang banyak uang, lantas sedikit-sedikit menagih, sebentar-sebentar menagih. Memangnya saya sebagai pengutang tidak punya perasaan? Dikiranya saya tidak punya rasa malu? Kalau memang jagoan, ayo sekalian kita berkelahi? Kita selesaikan urusan ini secara jantan. . . .!" ucap Yu Ngatmi dengan suara lantang, serak, penuh amarah.

"Wah, maaf saja kalau begitu. Baru tahu kalau Yu Ngat ini seorang jantan. Pantas. . . !" balas Mas Amin sambil ancang-ancang mau  ambil langkah seribu.

"Pantas apa? Jangan melucu. Ini urusan gawat. Bisa mati salah satu dari kita, lalu yang lain masuk bui., dan urusan selesai. . . !"

"Ok, siap. Aku tidak akan melucu lagi. Sekarang biar aku pergi saja dengan damai. Nanti lain kali kembali kalau Yu Ngat sudah waras. Minum obatnya yang rajin, kalau telat kumatnya bakal makin gawat. Permisi. . . . .!" seru Mas Amin.

Begitu selesai bicara,Yu Ngatmi benar-benar mengejar Mas Amin. Yu Ngat yang berdaster panjang itu sampai terjengkang-jengkang, lompat sana-sini, hingga berakhir di kubangan kerbau seberang jembatan saluran irigasi.

Pada kesempatan lain Mas Amin menemukan pengalaman berbeda yang tak disangka-sangkanya.

"Mas Amin harus punya banyak sabar. Sabar nagih, nunggu, sabar mendengar alasan orang yang mendapat kesulitas untuk mengangsur tepat waktu. . . . !" ucap Mak Masnah menasihati.

"Bukan Emak yang wajib menasehati. Aku yang justru harus menasehatimu. Kalau Emak tidak punya penghasilan tetap, tidak perlulah mengkredit barang. Pakai saja perabotan gerabah dan memasak pakai kayu. Pendapatan cuma menunggu pemberian anak-anak kok banyak gaya. Sedangkan mereka sering melupakan orangtua. Mana bisa tukang kredit sabar, harus sabar-sabar kalau orang yang utang terus mangkir dari angsuran.. . . .!" jawab Mas Amin tak mau kalah.

"Ohh, begitu ya Mas? Wah iya, maafin. Mak 'kan orang tua, mestinya yang wajib menasihati. . .!"

"Simpan nasihat itu untuk anak-anak Emak jika pulang kelak. Bilang pada mereka, jangan Emak dipermalukan tukang kredit lantaran selalu mangkir, berkelit, pura-pura sakit. . . !" ujar Mas Amin.

Begitulah. Karena banyak orang yang tidak mampu membayar utang. Mas Amin bersikap keras dengan mengambil kembali barang yang mereka kredit. Lumayan masih ada buktinya pada bandar sehingga setoran pun bisa berkurang dari harga pokoknya. (Bersambung)

Bandung, 25 Maret 2018

Keterangan: "Prabowo mengakui bahwa ia mengutip sebuah karya fiksi ilmiah novel fiksi Ghost Fleet: a Novel of The Next World War, karya pengamat militer, Peter W. Singer dan August Cole sebagai dasar "ramalannya". Sumber

Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun