Edi Mur melanjutkan tema bahasannya. "Kubayangkan betapa lucunya jika dua ikan buntal jadi juara bersama!"
Orang-orang tertawa girang, kecuali Lik Sumar.
"Juara apa?" tanya Lik Sumar yang agaknya paling malas nonton berita. Di tengah pekerjaannya sebagai tukang sablon hobinya hanya mendengarkan lagu-lagu koes plus. Tidak ada peristiwa politik sedikit pun yang melintas di kepalanya. Pantas saja ia paling buta berita.
"Juara apa? Semua orang sudah tahu. . . .!" Mas Bejo menjawab setengah jengkel.
"Juara dalam lomba burung berkicau. . . Â hahaha. Aneh sekali ya? Begitu nyinyirnya dua orang itu hingga hanya burung berkicau yang mampu menandingi. Dan ternyata kemudian semua burung berkicau pun kalah nyaring, kalah bening, bahkan kalah heboh kicauannya. . .!" ucap Edi Mur berimajinsi.
"Ooo. . .!" itu saja tanggapan Lik Sumar.
Selain empat orang yang membanting kartu, ada dua orang lagi di pos ronda itu yang dari tadi diam saja. Tidak sepatah katapun terlontar. Hanya suara sruputan pada cangkir kopi, diikuti sedotan pada rokok filter di bibir serta embusan asap membubung. Kang Murbani dan Wak Ja'far dari tadi saling berhadapan dengan persolan rumit dan pelik di kepala mereka masing-masing.
Sampai kemudian sebuah teriakan Kang Murbani nyaring terdengar, "Skak mat. . ..!"
Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak. Wak Ja'far geleng-geleng kapala begita rupa sehingga lehernya seperti muntir sekian derajat sebelum kemudian seperti melenting kembali pada posisi semula. "Edan. . . .! Kau tipu aku dengan manisnya ya? Kacau sekali. Lagakmu seperti menghindar, padahal mengincar skak mat! Hahaha. Aku kalah!"
Dua orang itu masih asyik dengan komentar mengenai langkah demi langkah yang mereka main untuk sampai pada kematian raja milik Wak Ja'far yang begitu tragis. Keduanya tidak menyadari bahwa empat kawan yang tadi bermain gaple sudah tidak lagi bersuara. Agaknya mereka diam-diam mengundurkan diri. Pulang tanpa pamit!
***