Nyinyir itu mestinya ada waktunya, ada tempatnya, ada prioritas, urgensi dan kapasitasnya. Jangan asal nyinyir, dan apalagi 'ora empan papan' dan 'seenak udele dewe' alias ngawur-nekat-hantam kromo dan tidak pintar instrospeksi diri. **
Itu barangkali bahan diskusi yang berat bagi para pakar dan akademisi, maupun para politikus di dewan. Tapi tidak bagi peserta 'klub banting kartu' Â sebuah pos ronda pojok Desa Kali Butek tidak jauh dari hutan karet di pinggiran kota metropolitan.
"Nyinyir itu mestinya ada waktunya. . . . .!" sekali lagi Edi Mur melontar ungkapan yang menggelitik pendapat dan debat warga pos ronda. Nama lengkapnya Edi Murdowo, tapi sesuai pekerjaannya sebagai tukang besi, ia suka saja dipanggil Edi Mur.
Malam masih muda. Sore tadi sempat rintik hujan membasahi tanah, hinga angin dingin bertiup basah. Tapi rombongan para pembanting tak peduli. Sabtu malam jatahnya kaum bapak untuk menghabiskan malam dalam kegembiraan: canda-ria, diselang-seling dengan banting kartu, merokok, minum kopi hitam, makan camilan, serta ngobrol soal apa saja yang sedang hangat.
Puas membanting kartu gaple yang dianggapnya mematikan kartu lawan, Mas Bejo bertanya: "Jangan lagi bicarakan orang-orang yang doyan nyinyir itu. Sudahlah. Nyinyir memang pekerjaan mereka. Tanpa nyinyir badan mereka bakal gatal-gatal. . . .!"
"Jadi apa yang mereka salah-salahkannya, Mas?"
"Seorang tambun bilang Jokowi tidak pantas ikut lomba burung berkicau. Presiden harus selalu serius mengurus negara. Sementara dia sendiri sedang melawak dalam stand up comedy pada acara talk show di salah satu tv. . .!" Mas Bejo melanjutkan.
"Di medsos ada nitizen yang ganti berkomentar 'Si Tambun kurang suka karena mestinya ia yang diikutkan dalam lomba burung berkicau itu. . . .!' Wadouw!" sambung Edi Mur seraya tertawa. Rokok kretek yang tinggal dua senti dijentikkannya ke kebun singkong di luar pos ronda.
"Ramai diwacanakan, jangan-jangan merekalah orang dibelakang Saracen dan MCA. Bukankah mereka juga sibuk menyebar nyinyiran bernada hoaks?" tambah Sarmun dengan suara tak yakin.
"Harus ada buktinya. Awas. Jangan main tuduh sembarangan. Mungkin aliran dana, atau pengakuan dari meeka yang sudah terciduk. . . .!" ucap Edi Mur mengingatkan.
Sejenak sepi. Empat orang pemegang kartu di situ serius menghitung-hitung kartu apa yang berikutnya harus dibanting. Domino menyebabkan pemainnya dengan suka-cita berpikir keras. Diselang-seling dengan ngobrol bersahutan.,