Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen I Tarjimin, Kadal, dan Penyanyi Dangdut

2 Februari 2017   11:41 Diperbarui: 2 Februari 2017   23:22 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sepasang kadal pun berselvie (Zazabava.com)

Tarjimin mendapat sebutan nakal dari teman-temannya, sebutan ‘kadal’. Kata itu muncul dari ungkapan ‘dikadalin’. Dan Tarjimin memang punya perilaku istimewa itu: suka menipu, mudah berpura-pura jadi korban, banyak ngomong, rakus, dan merugikan orang lain.

Tentu saja perilaku buruk itu sering tidak sebanding dengan penampilannya yang trendi, perlente, wangi dan mengkilap. Serupa bodi kendaraan yang terus dicuci busa, begitulah kondisi kulit, wajah, dan keseluruhan penampilan Tarjimin . . . . ehh, si Kadal!

Ihwal nama itu mestinya Tarjimin marah, setidaknya pasang muka sebel dan prihatin. Tapi tidak. Ia justru terlihat riang-gembira dan puas.

“Panggil aku sesukamu, aku tak ‘kan marah. Apa saja. Nama Kadal pun cukup memadai kok. Kadal, binatang melata itu bagus dan unik. Supaya kalian tahu, mereka berkembang biak dengan cara bertelur (ovipar) dan sebagian lagi  melahirkan (ovovivipar). Banyak spesies mereka.. . . . .!” ujar Tarjimin ketika beberapa lelaki sebaya berteriak nyaring “Hei. . . kadal. Ada kadal, awas. Menjauhlah kalian yang lain. Lidahnya terus menjulur-julur. Mulutnya berbisa!”

Tarjimin tertawa saja sambil memainkan batang rokok yang ada di ujung bibirnya. Asap mengepul, diikut sedotan, api di ujung rokok membesar, disusul suara batuk tersedak. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala seraya memperbaiki letak duduknya.

“Ovipar dan Ovovivipar? Paham kalian?” Tarjimin mengulang ucapannya.

“Sok tahu, Lu. . . . ! SMP saja nggak lulus sok mengulas materi ilmiah pula!” ejek Ujang Jenglot menyentak.

Tak peduli dengan komentar apapun, Tarjimin melanjutkan ucapannya. “Setelah berumur setahun, kadal siap kawin. Namun ada beberapa spesies kadal yang melakukan reproduksi dengan cara aseksual. Artinya tidak perlu mencari pasangan agar mereka dapat menghasilkan keturunan. . . . . . .!”

Tipis saja Tarjimin tersenyum mengejek. Sebab ungkapan terakhr itu tanpa disadari justru menyindir dirinya sendiri. Haruskah ia memiliki sifat aseksual? Tentu tidak. Ia perlu pasangan berjenis perempuan. Namun pasangan itu sampai kini belum muncul, dalam bayangan sekalipun.

Tarjimin jelang empat puluh tahun. Ia sudah berjuang keras mencari-cari sosok bintang sinetron diantara gadis-gadis di desanya, namun yang banyak dijumpai  hanya bintang panggung keliling kampung. Cantik tidak, tapi lagaknya lebih heboh dibandingkan penyanyi karbitan yang sering muncul di layar televisi.

Untuk mengubah peruntungan, Tarjimin pergi ke kota lain. Ia hadir dari panggung ke panggung untuk sekedar berjoged, nyawer, dan mencari kenalan penyanyi. Entah bagaimana seorang penyanyi kelas kampung kagum berat pada penampilan perlente Tarjimin alias Kadal. Namanya Aswina Prahara, baru lulus SMA, masih mencari-cari pengalaman dan relasi. Suara pas-pasan, kecantikan di atas garis minimal, tapi goyang dan dandanannya super heboh - menggelegar. Kekuatan suaranya serupa dari speaker murah yang menghentak gendang telinga dan dada. Terlebih pada lelaki yang suka berpikiran ngelantur. Tentu saja termasuk Tarjimin.

“Aku mau jadi pacarmu, Bang. Biarpun pacar ke delapan tak apalah. Yang penting Abang setia dan sayang pada Ade. . . . . .!” ujar Aswina memanggil dirinya sendiri dengan ‘Ade’ setelah turun dari panggung musik pada suatu malam yang mulai larut.

“Jangankan delapan, satu saja Abang tidak punya, Dik!”

“Jangan suka bohong, ahh. . .. Lelaki seperlente Abang pasti banyak yang  jungkir-balik ingin dipacari. Entah gadis, entah janda.. . . .!”

“Buktikan saja nanti kalau tak percaya. Tapi Abang miskin. Tidak mungkin membahagiakanmu dengan kemewahan!”  jawab Tarjimin berbasa-basi menolak.

Aswina menjawab dengan cubitan keras di lengan Tarjimin yang kasmaran. Maka sejak itu Tarjimin rela jadi tukang ojeg kemana pun Aswina Prahara manggung. Sepeda motor tua dua-tak dengan suara knalpot meledak-ledak miliknya cukup memadai untuk modal berpacaran. Naik-turun gunung, keluar masuk kampung, sampai ke pesisir yang sepi. Dan pada suatu malam dicegat segerombolan pemuda mabuk di dekat sebuah gubuk pada ujung tambak. Tidak ada lampu tapi bulan purnama menerangi.

“Berhenti. Serahkan apa saja yang kalian bawa. Tapi kalau ada cewek tinggalkan untuk  kami, yang lain boleh pergi jauh-jauh. . . . . .!”  ujar seorang lelaki dengan tubuh tinggi gempal. Suaranya serak menggelegar dengan bau alkohol.

“Oke.. . . .oke, aku tahu apa yang kalian mau. Kami membawa sedikit uang dan makanan dari hajatan di kampung Bulak. Aku mengantar penyanyi dangdut bahenol ini, yang pasti kalian sudah kenal pada goyangannya. Lihat baik-baik wajah dan penampilannya. . . . . .!” ucap Tarjimin ketika mematikan mesin motor. 

Ada tujuh orang, tua-muda, sempoyongan mencegat motor Tarjimin. Ada yang membawa batu, kayu, dan bambu panjang untuk senjata. Mereka berdesakan seperti akan segera berebut.

Tarjimin berpikir keras untuk keluar dari situasi itu. tak mungkin ia melawan, dan tak mungkin pula untuk melarikan diri.

“Nah, kalian sudah lihat sendiri ‘kan? Tidak mungkin penyanyi ini melayani kalian semua. Karena itu kalian harus saling pukul dan tendang. Siapa yang masih berdiri tegak pada akhir perkelahian bebas nanti dialah yang berhak mendapatkan penyanyi ini. Kalian paham?” teriak Tarjimin dengan suara lantang. “Aku yang akan menjadi wasitnya. Nah, mulailah. . . . . .!”

“Apa katamu?” serentak mereka bertanya.

Tarjimin mengulang perkatannya, dengan suara makin keras. Bahkan berteriak di dekat telinga satu per satu mereka.

Agak bingung dan sedikit heran, ketujuh orang mabuk itu tampak ragu-ragu. Namun tanpa membantah lagi mereka pun segera bergerak sempoyongan saling pukul, saling hajar, dan saling timpuk. Dan benar saja. Tinggal si bongsor yang masih tegak pada akhir perkelahian. Dengan nafas ngos-ngosan, sekujur tubuh lebam dan luka, lelaki itu mendekati Tarjimin untuk menagih janji.

“Nah, ini ambillah hadiahmu. . . . . .!” seru Tarjimin seraya menjambak rambut jabrik si Bongsor, lalu mengempaskannya ke dengkulnya dengan keras yang membuat lelaki itu memekik lalu terjengkang pingsan.

Tujuh lelaki mabuk bergelimpangan di jalan. Aswina yang dari tadi menjerit-jerit histeris, kini menampakkan senyum lega. Lalu dengan sangat bersemangat dipeluknya Tarjimin yang telah menyelamatkannya itu.

Begitulah sejak itu Aswina menyewa mobil bila ada acara manggung di tempat-tempat yang jauh. Tak lama kemudian Aswina bahkan membeli sebuah mobil minibus baru. Tarjimin yang menyopiri, merangkap sebagai pengawal dan pacar.

Aswina makin lengket saja dengan Tarjimin. Perjalanan asmara yang mulus dan manis mengharuskannya berpikir lebih serius: pelaminan. Ya, tapi kenapa Tarjimin alias Kadal itu tak pernah menyatakan cintanya? Aswina penasaran tentu saja.

“Dulu Ade yang memintamu jadi pacarku. Apakah sekarang Ade juga yang harus memintamu jadi suamiku?” tanya Aswina dengan nada marah suatu petang sepulang dari lokasi hajatan.  Wajahnya merah, bedak dan lipstik pun meleleh. Raut wajah asli itu jadi sangat menakutkan.

Tarjimin tak segera menjawab. Ia mencari-cari pembicaraan lain. Sampai berhari-hari kemudian tetap saja tidak ada jawaban. Lalu Aswina mengendus perilaku yang mencurigakan. Setiap kali ia naik panggung agaknya Tarjimin menggoda penyanyi lain yang lebih cantik, semampai, dan memiliki suara lebih merdu. Dihitungnya ada delapan penyanyi yang diam-diam terpikat pada bujuk-rayu Tarjimin.

Maka murkalah Aswina Prahara. Dengan berbulat hati ia hendak memecat Tarjimn dari hidupnya. Namun agaknya Tarjimin lebih tangkas. Dengan alasan mengambil sesuatu di mobil ketika mereka singgah di rumah makan Cabe Rawit suatu siang, Tarjimin melarikan mobil Aswina.

“Dasar Kadal tak tahu diuntung. Minggat dengan membawa semua milikku. Teganya. . . . .!” teriak Aswina disela-sela tangis melengking di rumah makan itu.

Menggunakan mobil baru itu Tarjimin tahu persis kemana harus menuju. Ya, kemana lagi kalau bukan menyambangi ke delapan penyanyi cantik yang selama ini diincarnya. Kebetulan mereka akan manggung pada dua lokasi yang berbeda.

Dengan sangat tergesa-gesa Tarjimin mengemudi kendaraan keluar kota. Sementara itu ponselnya terus berdering. Ya, itu dari Aswina tentu saja. Cepat-cepat ia matikan suara dering itu. namun dering lain segera berbunyi. Ya, itu dari salah satu dari kedelapan penyanyi yang diincarnya. Pikiran Tarjimin jadi sangat kalut. Konsentrasinya dalam mengemudi mobil hilang-timbul. Ketakutan, kejengkelan dan berbagai perasaan lain menyelimutinya.

Hingga kemudian sesuatu melintas di depan jalannya. Mungkin kucing, atau bisa jadi anjing, atau sekadar penampakan yang tak jelas apa. Tak jelas benar Tarjimin melihatnya. Ia kaget, terjingkat, dan tentu saja refleks tangan dan kakinya tidak terkendali. Mobil terpelanting, berguling-guling akrobatik, dan  jatuh terbalik di selokan sisi jalan. Menimpa tanaman padi menguning, rerumputan, dan aliran air untuk pengairan sawah.

Tarjimin pingsan beberapa saat. Kaki dan tangannya terjepit badan mobil. Namun tak lama kemudian ia siuman. Ia mengerang kesakitan, ingin berteriak minta tolong namun bibirnya bukan main perih karena robek. Ada suara gemericik air mengalir, ada bau comberan yang menyengat, dan ada beberapa ekor kadal yang diam melongo memperhatikan Tarjimin meregang nyawa! Dalam hitungan menit ramai-ramai orang coba menolong, tapi yang lain mengambil dompet, menguras isi dashboardserta benda berharga apa saja yang ada di dalam mobil. . . . .!

Kabar kecelakaan itu cepat menyebar, lengkap dengan keterangan merek dan warna mobil serta nomor polisinya. Mengetahui hal itu Aswina Prahara -si penyanyi dangdut heboh dari kampung ke kampung- sangat kaget dan bingung, sebab sebagai pemilik mobil tak urung ia bakal ikut berurusan dengan polisi. Namun bersamaan dengan itu hatinya lega. Ia terbebas dari ketergantungan pada Tarjimin, alias Kadal yang suka ngadalin itu. Sebab ia pun sudah punya cowok lain yang jauh lebih ganteng dan bertanggungjawab, dan menunggu giliran. Nama pacar barunya itu Bob Walijo, seorang pemain keyboard bertubuh raksasa yang populer dipanggil si Kampret, bukan Kebo apalagi Kodok!***

Bandung,  2 Februari 2017

 Sumber gambar

Tulisan sebelumnya: 

  1. langkah-kaki-mengenali-toleransi
  2. bohlam-lampu-dan-kelopak-mata
  3. lawakan-yang-norak-dan-sindiran-pada-dunia-politik
  4. /pendongeng-di-dasar-sumur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun