“Aku mau jadi pacarmu, Bang. Biarpun pacar ke delapan tak apalah. Yang penting Abang setia dan sayang pada Ade. . . . . .!” ujar Aswina memanggil dirinya sendiri dengan ‘Ade’ setelah turun dari panggung musik pada suatu malam yang mulai larut.
“Jangankan delapan, satu saja Abang tidak punya, Dik!”
“Jangan suka bohong, ahh. . .. Lelaki seperlente Abang pasti banyak yang jungkir-balik ingin dipacari. Entah gadis, entah janda.. . . .!”
“Buktikan saja nanti kalau tak percaya. Tapi Abang miskin. Tidak mungkin membahagiakanmu dengan kemewahan!” jawab Tarjimin berbasa-basi menolak.
Aswina menjawab dengan cubitan keras di lengan Tarjimin yang kasmaran. Maka sejak itu Tarjimin rela jadi tukang ojeg kemana pun Aswina Prahara manggung. Sepeda motor tua dua-tak dengan suara knalpot meledak-ledak miliknya cukup memadai untuk modal berpacaran. Naik-turun gunung, keluar masuk kampung, sampai ke pesisir yang sepi. Dan pada suatu malam dicegat segerombolan pemuda mabuk di dekat sebuah gubuk pada ujung tambak. Tidak ada lampu tapi bulan purnama menerangi.
“Berhenti. Serahkan apa saja yang kalian bawa. Tapi kalau ada cewek tinggalkan untuk kami, yang lain boleh pergi jauh-jauh. . . . . .!” ujar seorang lelaki dengan tubuh tinggi gempal. Suaranya serak menggelegar dengan bau alkohol.
“Oke.. . . .oke, aku tahu apa yang kalian mau. Kami membawa sedikit uang dan makanan dari hajatan di kampung Bulak. Aku mengantar penyanyi dangdut bahenol ini, yang pasti kalian sudah kenal pada goyangannya. Lihat baik-baik wajah dan penampilannya. . . . . .!” ucap Tarjimin ketika mematikan mesin motor.
Ada tujuh orang, tua-muda, sempoyongan mencegat motor Tarjimin. Ada yang membawa batu, kayu, dan bambu panjang untuk senjata. Mereka berdesakan seperti akan segera berebut.
Tarjimin berpikir keras untuk keluar dari situasi itu. tak mungkin ia melawan, dan tak mungkin pula untuk melarikan diri.
“Nah, kalian sudah lihat sendiri ‘kan? Tidak mungkin penyanyi ini melayani kalian semua. Karena itu kalian harus saling pukul dan tendang. Siapa yang masih berdiri tegak pada akhir perkelahian bebas nanti dialah yang berhak mendapatkan penyanyi ini. Kalian paham?” teriak Tarjimin dengan suara lantang. “Aku yang akan menjadi wasitnya. Nah, mulailah. . . . . .!”
“Apa katamu?” serentak mereka bertanya.