Tarjimin mengulang perkatannya, dengan suara makin keras. Bahkan berteriak di dekat telinga satu per satu mereka.
Agak bingung dan sedikit heran, ketujuh orang mabuk itu tampak ragu-ragu. Namun tanpa membantah lagi mereka pun segera bergerak sempoyongan saling pukul, saling hajar, dan saling timpuk. Dan benar saja. Tinggal si bongsor yang masih tegak pada akhir perkelahian. Dengan nafas ngos-ngosan, sekujur tubuh lebam dan luka, lelaki itu mendekati Tarjimin untuk menagih janji.
“Nah, ini ambillah hadiahmu. . . . . .!” seru Tarjimin seraya menjambak rambut jabrik si Bongsor, lalu mengempaskannya ke dengkulnya dengan keras yang membuat lelaki itu memekik lalu terjengkang pingsan.
Tujuh lelaki mabuk bergelimpangan di jalan. Aswina yang dari tadi menjerit-jerit histeris, kini menampakkan senyum lega. Lalu dengan sangat bersemangat dipeluknya Tarjimin yang telah menyelamatkannya itu.
Begitulah sejak itu Aswina menyewa mobil bila ada acara manggung di tempat-tempat yang jauh. Tak lama kemudian Aswina bahkan membeli sebuah mobil minibus baru. Tarjimin yang menyopiri, merangkap sebagai pengawal dan pacar.
Aswina makin lengket saja dengan Tarjimin. Perjalanan asmara yang mulus dan manis mengharuskannya berpikir lebih serius: pelaminan. Ya, tapi kenapa Tarjimin alias Kadal itu tak pernah menyatakan cintanya? Aswina penasaran tentu saja.
“Dulu Ade yang memintamu jadi pacarku. Apakah sekarang Ade juga yang harus memintamu jadi suamiku?” tanya Aswina dengan nada marah suatu petang sepulang dari lokasi hajatan. Wajahnya merah, bedak dan lipstik pun meleleh. Raut wajah asli itu jadi sangat menakutkan.
Tarjimin tak segera menjawab. Ia mencari-cari pembicaraan lain. Sampai berhari-hari kemudian tetap saja tidak ada jawaban. Lalu Aswina mengendus perilaku yang mencurigakan. Setiap kali ia naik panggung agaknya Tarjimin menggoda penyanyi lain yang lebih cantik, semampai, dan memiliki suara lebih merdu. Dihitungnya ada delapan penyanyi yang diam-diam terpikat pada bujuk-rayu Tarjimin.
Maka murkalah Aswina Prahara. Dengan berbulat hati ia hendak memecat Tarjimn dari hidupnya. Namun agaknya Tarjimin lebih tangkas. Dengan alasan mengambil sesuatu di mobil ketika mereka singgah di rumah makan Cabe Rawit suatu siang, Tarjimin melarikan mobil Aswina.
“Dasar Kadal tak tahu diuntung. Minggat dengan membawa semua milikku. Teganya. . . . .!” teriak Aswina disela-sela tangis melengking di rumah makan itu.
Menggunakan mobil baru itu Tarjimin tahu persis kemana harus menuju. Ya, kemana lagi kalau bukan menyambangi ke delapan penyanyi cantik yang selama ini diincarnya. Kebetulan mereka akan manggung pada dua lokasi yang berbeda.