Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjaga Masjid (1)

14 Oktober 2016   01:05 Diperbarui: 14 Oktober 2016   16:05 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya baru sekejap aku terlelap dalam tidur setelah sholat tahajud tadi. Aku sudah terbangun lagi. Dari jendela kaca yang tak bergorden tampak gelap di luar, namun beberapa bintang berkedip dalam keluasan langit malam. Udara dingin, dan suasana senyap.

Biasanya aku memang terus pergi ke kamar mandi, bersiap untuk menyongsong sholat subuh berjamaah. Tapi rasa penat membuatku kembali terbujur di bale-bale kayu untuk tidur beberapa saat saja.

Hari ini adalah hari terakhirku menunggu rumah besar ini. Menunggui, membersihkan, dan memelihara dengan rapi dan bersih sepanjang hari. Membantu keperluan anak-anak mengaji dan kegiatan madrasah. Bahkan juga menjaga dan memelihara masjid dari tangan-tangan jahil dan pencuri. Aku sudah menganggapnya sebagai rumahku sendiri. Ya, rumah besar ini tak lain adalah sebuah masjid. Dan aku marbot –atau si penjaga masjid- Al Hidayah ini, yang hampir tiga puluh tahun setia memeliharanya.

Perasaan kehilangan tiba-tiba menyergap.  Aku harus segera pulang ke kampung halaman sebagai orang asing di sana.  Seorang penjaga masjid yang baru akan datang menggantikanku. Pasti penggantiku muda, gesit dan hafal al Qur’an, serta bersuara indah untuk melantunkan adzan.

Kemarin siang Pak Haji Marlan memanggilku. Itu dilakukannya setelah menjadi imam sholat Ashar. Ia duduk di pojok belakang ruangan masjid. Wajahnya sumringah seperti setiap kali. Aku menyalaminya dengan takzim. Dan beliau mempersilahkanku duduk di sampingnya. Jamaah mulai meninggalkan masjid setelah sholat. Namun ada beberapa orang yang masih sholat dan berzikir.

“Assalamu’alaikum, Pak Muhrowi. Saya perlu menyampaikan hal penting seperti yang sudah beberapa kali saya utarakan. . . . . . ,” ucap Pak Haji Marlan setengah berbisik sambil mengulurkan tangannya untuk kujabat. 

Ia memandangiku dengan begitu ramah sehingga membuatku sangat canggung. Selama ini Pak Haji dikenal tegas dan getas dalam berbicara. Syariat dan ketentuan agama ditegakkannya dengan sangat disiplin. Dialah pembuat dan pemberi tanah wakaf masjid besar ini. Tentu semua jamaah tahu belaka, dan sangat hormat padanya.

“Waalaikumsalam, Pak Haji. Maaf, ada yang perlu saya lakukan sekarang. . . . .?” tanya saya menunggu-nunggu apa yang akan diperintahkannya padaku.

Pak Haji Marlan tidak segera menjawab. Tiba-tiba wajahnya menampakan kegelisahan dan rasa kurang nyaman. Senyumnya seketika hilang. “Ada kabar yang menggembirakan, namun mungkin sekaligus juga menyedihkan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya!” ujar Pak Haji seperti berteka-teki, dan tidak segera menjelaskan duduk persoalan yang akan dibicarakannya.

“Tentang apa ini, Pak Haji. . . . .?”

“Tentang Pak  Muhrowi sendiri, siapa lagi?”

“Saya?” tanyaku dengan sedikit terkejut. Lalu seketika aku teringat pada sesuatu yang sangat spesial yang dilakukan Pak Haji Marlan. “Apakah ini ada hubungannya dengan kunjungan pengurus Majid ini ke kampung saya yang terpencil tempo hari? Terkait dengan rencana merenovasi masjid kecil dan membuat sebuah rumah mungil di sana?”

Pak Haji Marlan seperti termangu. Senyum khasnya yang lebar memperlihatkan deretan gigi yang putih dan satu gigi ompong.

“Apakah ada hubungannya dengan hal itu, Pak Haji?” desakku tak sabar.

“Yaa, Pak Muhrowi. Tepat sekali dugaan bapak. Saya dan segenap pengurus masjid telah melakukan banyak persiapan untuk satu keputusan yang sulit. Saya tidak tahu perasaan apa yang bakal berkecamuk di dada bapak. Namun kami sangat berterimakasih pada perjuangan dan kegigihan bapak melayani jamaah dan merawat masjid selama ini. Namun memang tidak mungkin selamanya. . . .!” Pak Haji Marlan mengela nafas panjang, melihat ke luar halaman masjid melalui kaca-kaca lebar.

“Ya, saya tahu, Tidak mungkin selamanya. . . . . .!“

“Bapak sudah sakit-sakitan, tenaga pun makin berkurang. Kami sangat mengerti bila bapak mampu memaksakan diri untuk bertahan. Namun bertambahnya usia dengan segenap kondisi kesehatan yang menyertainya tidak mungkin ditutupi. Bukan kami melupakan semua jasa bapak. . . . . !”

“Tapi, Pak. . . . .!”

“Putusan ini justru karena alasan sebaliknya, kami sangat menghormati dan menyayangi bapak. Jadi itulah alasannya kami mencari pengganti bapak sebagai marbot, dan bapak dapat kembali ke kampung halaman. Pulang ke rumah mungil yang kami sediakan. Kembali ke mushola yang sudah kami renovasi di kampung bapak.”

Dan aku tiba-tiba dapat berkata apapun selain kaget, dan heran, juga takut dan bahkan kecewa dengan keputusan itu. Mereka begitu rapi menutupi rencana memulangkanku ke kampung, mereka begitu pandai bersandiwara. Bahkan sudah kukuat-kuatkan tenaga dan kusehat-sehatkan kondisi tubuh ini agar tenagaku masih terpakai. Namun memang semuanya tidak lagi sama dengan puluhan tahun lalu.

Aku tidak dapat berkomenar atas  ucapan Pak Haji Marlan. Tiba-tiba aku merasa sangat marah. Lalu dengan begitu saja berdiri dan berlari menuju kamar kecilku di samping masjid. Air mata tuaku tak dapat kubendung. Di bale-bale kayu itu aku menelungkupkan badan dengan air mata membanjir.

“Aku sudah tidak terpakai lagi. Setelah semuanya habis, kekuatan, kesehatan, dan kemampuan untuk mengurusi keperluan masjid, kini dibuang. Kini aku tak lebih dari sampah yang tak berguna lagi . . . . . . aku. . . . . .ohhh!” jeritku yang tertumpah di bantal tipis.  Aku ingat betapa selama ini aku sebatang kara. Tanpa anak-isteri, semua kuabdikan untuk masjid ini, untuk mengurus semua keperluan masjid dan melayani jamaah. Kesendirian dan kesepian tiap hari tak kurasakan selain untuk menghamba pada Allah.

Setengah jam aku telungkup hingga dada sesak, dan batuk panjang mulai menerjang. Aku mencari air minum di meja kecil di samping bale-bale kayu. Tak kuperhatikan ternyata Pak Haji Marlan sudah menyorongkan gelas dengan air putih di dalamnya.

“Minumlah,  istigfar Pak Murowi. Setelah perasaan bapak lebih nyaman, saya tunggu di dalam masjid untuk meneruskan pembicaraan kita tadi. . . . .!” ucap Pak Haji Marlan setelah gelas kuterima dan kuteguk air di dalamnya. Ternyata benar, perasaanku menjadi lega dan lapang. Tangis tadi tentu sesuatu yang bermanfat untuk tidak menyesali masa lalu, sekaligus ingatan pada sunatullah bahwa segala sesuatu berubah, segala sesuatu ada batas akhirnya, segala sesuatu harus saling berpisah. . . .

Aku pasrah, dan tiba-tiba merasa bahwa putusan mereka sama sekali tidak salah. Aku saja yang terlalu curiga, terlalu gegabah dengan berprasangka buruk. (bersambung)

Bandung, 18 Februari – 14 Oktober 2016

Sumber gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun