Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjaga Masjid (1)

14 Oktober 2016   01:05 Diperbarui: 14 Oktober 2016   16:05 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya?” tanyaku dengan sedikit terkejut. Lalu seketika aku teringat pada sesuatu yang sangat spesial yang dilakukan Pak Haji Marlan. “Apakah ini ada hubungannya dengan kunjungan pengurus Majid ini ke kampung saya yang terpencil tempo hari? Terkait dengan rencana merenovasi masjid kecil dan membuat sebuah rumah mungil di sana?”

Pak Haji Marlan seperti termangu. Senyum khasnya yang lebar memperlihatkan deretan gigi yang putih dan satu gigi ompong.

“Apakah ada hubungannya dengan hal itu, Pak Haji?” desakku tak sabar.

“Yaa, Pak Muhrowi. Tepat sekali dugaan bapak. Saya dan segenap pengurus masjid telah melakukan banyak persiapan untuk satu keputusan yang sulit. Saya tidak tahu perasaan apa yang bakal berkecamuk di dada bapak. Namun kami sangat berterimakasih pada perjuangan dan kegigihan bapak melayani jamaah dan merawat masjid selama ini. Namun memang tidak mungkin selamanya. . . .!” Pak Haji Marlan mengela nafas panjang, melihat ke luar halaman masjid melalui kaca-kaca lebar.

“Ya, saya tahu, Tidak mungkin selamanya. . . . . .!“

“Bapak sudah sakit-sakitan, tenaga pun makin berkurang. Kami sangat mengerti bila bapak mampu memaksakan diri untuk bertahan. Namun bertambahnya usia dengan segenap kondisi kesehatan yang menyertainya tidak mungkin ditutupi. Bukan kami melupakan semua jasa bapak. . . . . !”

“Tapi, Pak. . . . .!”

“Putusan ini justru karena alasan sebaliknya, kami sangat menghormati dan menyayangi bapak. Jadi itulah alasannya kami mencari pengganti bapak sebagai marbot, dan bapak dapat kembali ke kampung halaman. Pulang ke rumah mungil yang kami sediakan. Kembali ke mushola yang sudah kami renovasi di kampung bapak.”

Dan aku tiba-tiba dapat berkata apapun selain kaget, dan heran, juga takut dan bahkan kecewa dengan keputusan itu. Mereka begitu rapi menutupi rencana memulangkanku ke kampung, mereka begitu pandai bersandiwara. Bahkan sudah kukuat-kuatkan tenaga dan kusehat-sehatkan kondisi tubuh ini agar tenagaku masih terpakai. Namun memang semuanya tidak lagi sama dengan puluhan tahun lalu.

Aku tidak dapat berkomenar atas  ucapan Pak Haji Marlan. Tiba-tiba aku merasa sangat marah. Lalu dengan begitu saja berdiri dan berlari menuju kamar kecilku di samping masjid. Air mata tuaku tak dapat kubendung. Di bale-bale kayu itu aku menelungkupkan badan dengan air mata membanjir.

“Aku sudah tidak terpakai lagi. Setelah semuanya habis, kekuatan, kesehatan, dan kemampuan untuk mengurusi keperluan masjid, kini dibuang. Kini aku tak lebih dari sampah yang tak berguna lagi . . . . . . aku. . . . . .ohhh!” jeritku yang tertumpah di bantal tipis.  Aku ingat betapa selama ini aku sebatang kara. Tanpa anak-isteri, semua kuabdikan untuk masjid ini, untuk mengurus semua keperluan masjid dan melayani jamaah. Kesendirian dan kesepian tiap hari tak kurasakan selain untuk menghamba pada Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun