Setengah jam aku telungkup hingga dada sesak, dan batuk panjang mulai menerjang. Aku mencari air minum di meja kecil di samping bale-bale kayu. Tak kuperhatikan ternyata Pak Haji Marlan sudah menyorongkan gelas dengan air putih di dalamnya.
“Minumlah, istigfar Pak Murowi. Setelah perasaan bapak lebih nyaman, saya tunggu di dalam masjid untuk meneruskan pembicaraan kita tadi. . . . .!” ucap Pak Haji Marlan setelah gelas kuterima dan kuteguk air di dalamnya. Ternyata benar, perasaanku menjadi lega dan lapang. Tangis tadi tentu sesuatu yang bermanfat untuk tidak menyesali masa lalu, sekaligus ingatan pada sunatullah bahwa segala sesuatu berubah, segala sesuatu ada batas akhirnya, segala sesuatu harus saling berpisah. . . .
Aku pasrah, dan tiba-tiba merasa bahwa putusan mereka sama sekali tidak salah. Aku saja yang terlalu curiga, terlalu gegabah dengan berprasangka buruk. (bersambung)
Bandung, 18 Februari – 14 Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H