Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen I Nasib Penonton, Rusuh, dan Pencopet

10 Oktober 2016   23:01 Diperbarui: 2 November 2016   16:25 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ayo goyang dumang, biar hati senang, pikiranpun tenang, galau jadi hilang. . . . . . . .!” teriak Saskia Gothik di atas panggung.  Dengan busana ketat pas-pasan ia menggerakkan segenap anggota tubuh dengan lentur sedemikian ganas, menjadikan panggung bergetar-getar seperti mau roboh.

Penonton menambah suasana gaduh. Beradu pantat, beradu lengan, bahkan dada dan perut. Terjadi saling senggol dan sikut. Lalu dengan cepat berubah saling jotos. Massal. Tidak jelas apa pemicu pastinya, mungkin saja akibat minuman yang membuat tubuh dan pikiran banyak orang panas. Belum lagi musik keras terus saja menggoyang-goyang gendang telinga dan urat-syaraf. Menonton terdorong ke kiri dan ke kanan mengikuti goyangan gendang.

***

Keributan massal hampir saja pecah. Beruntung musik segera dihentikan, dan para perusuh diringkus dan digiring oleh petugas keamanan ke sudut lapangan. Sesuai kebiasaan, orang-orang potensial menjadi perusuh dikurung di tempat terpisah sehingga konser musik dapat dilanjutkan dengan aman. Namun banyak hal lain sering tak terduga yang menjadi sebab terjadinya kerusuhan massal antar penonton dan antara penonton dengan petugas keamanan.

“Copet. . . . .copet. . . . . .!” teriakan itu pertama kali terdengar dari tengah kerumunan para penjoget. Seseorang memukul orang lain dengan peneriakkan tuduhan itu. Diikuti orang lain, tapi ada juga yang asal pukul dan asal tendang. Sementara itu sebuah dompet kulit dengan isi tebal beralih dari satu tangan ke tangan lain begitu cepat. Pemegang dompet bahkan ikut berteriak ‘copet, copet’. Kerusuhan dengan saling jotos, sikut, tendang dan injak makin meluas.

***

Seorang lelaki tumbang setelah beberapa pukulan mengenai kepala, dada dan perutnya. Entah siapa saja yang telah memukulnya. Awalnya ia coba membalas, ganti memukul dengan membabi-buta kepada orang lain yang  terdekat. Namun jotosan orang-orang itu sungguh keras. Dengan kepala pusing dan pandangan yang makin kabur, ia teringat ucapan emaknya: ”Kalaupun kamu harus makan batu, jalani saja. Jangan pernah menjadi pencuri, maling, pencopet, rampok dan aneka pekerjaan lain yang merugikan orang lain.”

Ia ingat itu, dan tak pernah ingin melanggarnya. Namun nasibnya kini tak lebih saangat tragis. Sekujur tubuhnya dirasa luluh-lantak. Sampai kemudian semua rasa sakit menjadi satu, penglihatan hitam pekat, ingatan terbang, . . . . .! Sagimo –lelaki itu- meregang nyawa dengan predikat yang sangat tidak diinginkannya: pencopet!***
Bandung, 10 Oktober 2016 M/9 Muharam 1438 H

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun