“Jangan mau jadi penonton terus. Sengsara. Lain kali kamulah yang harus jadi penyanyi atau pemain musik sehingga penghasilanmu tidak lagi cuma lima puluh ribu rupiah perhari, tapi jutaan rupiah.” Itu ucap Emak kepada anak tunggalnya, Sagimo, yang sekian lama jadi pengangguran. Nasehat itu begitu tajam dirasakan, membuat si anak termotivasi untuk cepat-cepat berubah.
Namun hari inipun nasib lelaki jomblo jelang dua puluh tiga tahun itu maasih sama buruk. Hari ini, tiga tahun setelah Simbok menasehati. Jangankan jadi penyanyi, naik panggung untuk ikut joget pun ia malu. Sagimo lebih suka menonton dari jauh, di bawah pohon. Hanya kedua jempol tangannya yang digerak-gerakan mengikuti irama gendang lagu yang sedang dinyanyikan si penyanyi. Malu-malu.
“Ayo penonton, merapat dekat panggung. Dekat dengan si cantik Ayu Ting Ting, Iis Dahlia, Dewi Persik, dan banyak penyanyi dangdut lain yang heboh-heboh. Jangan malu, jangan malu-maluin. Ayo joget, ayo bersenang-senang. Jangan hanya berteduh di bawah pohon. . . . . . .!” teriak pembawa acara sambil menuding dan melambaikan tangan memanggil penonton di beberapa sudut lapangan yang teduh oleh rindangnya pohon katapang.
Bersamaan dengan itu koordinator penonton mengusir anggotanya dari bawah pohon. Dengan berat hati Sagimo beringsut ke tengah lapangan. Berlari-lari, lalu ikut berjoget dengan penuh semangat seperti orang lain. Banyak teman-temannya yang perlu menenggak beberapa teguk minuman berasap untuk mengatasi rasa canggung dan malu. Sagimo menolak ikut. Ia hanya perlu menutupi wajahnya dengan kacamata hitam lebar.
“Sik asik sik asik kenal dirimu. Sik asik sik asik dekat denganmu. Terasa di hati berbunga-bunga setiap bertemu. . . . . .!” dendang Ayu Ting Ting disertai lenggang-lenggok sambil bergerak dari satu sudut panggung ke sudut panggung yang lain.
***
Matahari sangat terik. Jam dua siang pertunjukkan itu dilangsungkan. Semua itu karena alasan padatnya acara, pilihan jam tayang, mengejar iklan, serta menyesuaikan dengan berbagai hal lain yang padat. Dan dengan imbalan uang lima puluh ribu rupiah, ditambah air mineral dan sebungkus nasi rames, hampir lima ratus penonton bayaran tumplek di tengah lapangan bola kota kecamatan itu.
***
Sagimo terus berjoget. Ia tidak dipecat. Seperti semua orang-orang lain, para penonton bayaran. Hanya bergerak lincah, dengan senyum cerah. Seperti tak kenal lelah. Keringat berleleran layaknya orang mandi. Sekujur tubuh basah. Di balik kacamata hitamnya sebenarnyalah Sagimo meneteskan air mata.
Dengan isteri dan seorang anak yang harus dihidupi, pendapatannya semata dari honor menjadi penonton bayaran mana cukup. Bekerja sebagai tukang batu sudah ditinggalkannya karena tubuhnya ringkih. Mau jadi penjual rokok dan minuman asongan modal tidak punya. Mau terus merepoti mertua sangat tidak mungkin.
Satu-satunya peluang yang masih memberinya penghasilan ya menjadi penonton bayaran, pendemo bayaran, pelayat bayaran, dan pekerjaan lain semacam itu. Tidak berubah, dan tidak menjadi lebih baik.
“Ayo goyang dumang, biar hati senang, pikiranpun tenang, galau jadi hilang. . . . . . . .!” teriak Saskia Gothik di atas panggung. Dengan busana ketat pas-pasan ia menggerakkan segenap anggota tubuh dengan lentur sedemikian ganas, menjadikan panggung bergetar-getar seperti mau roboh.
Penonton menambah suasana gaduh. Beradu pantat, beradu lengan, bahkan dada dan perut. Terjadi saling senggol dan sikut. Lalu dengan cepat berubah saling jotos. Massal. Tidak jelas apa pemicu pastinya, mungkin saja akibat minuman yang membuat tubuh dan pikiran banyak orang panas. Belum lagi musik keras terus saja menggoyang-goyang gendang telinga dan urat-syaraf. Menonton terdorong ke kiri dan ke kanan mengikuti goyangan gendang.
***
Keributan massal hampir saja pecah. Beruntung musik segera dihentikan, dan para perusuh diringkus dan digiring oleh petugas keamanan ke sudut lapangan. Sesuai kebiasaan, orang-orang potensial menjadi perusuh dikurung di tempat terpisah sehingga konser musik dapat dilanjutkan dengan aman. Namun banyak hal lain sering tak terduga yang menjadi sebab terjadinya kerusuhan massal antar penonton dan antara penonton dengan petugas keamanan.
“Copet. . . . .copet. . . . . .!” teriakan itu pertama kali terdengar dari tengah kerumunan para penjoget. Seseorang memukul orang lain dengan peneriakkan tuduhan itu. Diikuti orang lain, tapi ada juga yang asal pukul dan asal tendang. Sementara itu sebuah dompet kulit dengan isi tebal beralih dari satu tangan ke tangan lain begitu cepat. Pemegang dompet bahkan ikut berteriak ‘copet, copet’. Kerusuhan dengan saling jotos, sikut, tendang dan injak makin meluas.
***
Seorang lelaki tumbang setelah beberapa pukulan mengenai kepala, dada dan perutnya. Entah siapa saja yang telah memukulnya. Awalnya ia coba membalas, ganti memukul dengan membabi-buta kepada orang lain yang terdekat. Namun jotosan orang-orang itu sungguh keras. Dengan kepala pusing dan pandangan yang makin kabur, ia teringat ucapan emaknya: ”Kalaupun kamu harus makan batu, jalani saja. Jangan pernah menjadi pencuri, maling, pencopet, rampok dan aneka pekerjaan lain yang merugikan orang lain.”
Ia ingat itu, dan tak pernah ingin melanggarnya. Namun nasibnya kini tak lebih saangat tragis. Sekujur tubuhnya dirasa luluh-lantak. Sampai kemudian semua rasa sakit menjadi satu, penglihatan hitam pekat, ingatan terbang, . . . . .! Sagimo –lelaki itu- meregang nyawa dengan predikat yang sangat tidak diinginkannya: pencopet!***
Bandung, 10 Oktober 2016 M/9 Muharam 1438 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H