Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen I Nasib Penonton, Rusuh, dan Pencopet

10 Oktober 2016   23:01 Diperbarui: 2 November 2016   16:25 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jangan mau jadi penonton terus. Sengsara. Lain kali kamulah yang harus jadi penyanyi atau pemain musik sehingga penghasilanmu tidak lagi cuma lima puluh ribu rupiah perhari, tapi jutaan rupiah.” Itu ucap Emak kepada anak tunggalnya, Sagimo, yang sekian lama jadi pengangguran.  Nasehat itu begitu tajam dirasakan, membuat si anak termotivasi untuk cepat-cepat berubah.

Namun hari inipun nasib lelaki jomblo jelang dua puluh tiga tahun itu maasih sama buruk. Hari ini, tiga tahun setelah Simbok menasehati. Jangankan jadi penyanyi, naik panggung untuk ikut joget pun ia malu. Sagimo lebih suka menonton dari jauh, di bawah pohon. Hanya kedua jempol tangannya yang digerak-gerakan mengikuti irama gendang lagu yang sedang dinyanyikan si penyanyi. Malu-malu.

“Ayo penonton, merapat dekat panggung. Dekat dengan si cantik Ayu Ting Ting, Iis Dahlia, Dewi Persik, dan banyak penyanyi dangdut lain yang heboh-heboh. Jangan malu, jangan malu-maluin. Ayo joget, ayo bersenang-senang. Jangan hanya berteduh di bawah pohon. . . . . . .!” teriak pembawa acara sambil menuding dan melambaikan tangan memanggil penonton di beberapa sudut lapangan yang teduh oleh rindangnya pohon katapang.

Bersamaan dengan itu koordinator penonton mengusir anggotanya dari bawah pohon. Dengan berat hati Sagimo beringsut ke tengah lapangan. Berlari-lari, lalu ikut berjoget dengan penuh semangat seperti orang lain. Banyak teman-temannya yang perlu menenggak beberapa teguk minuman berasap untuk mengatasi rasa canggung dan malu. Sagimo menolak ikut. Ia hanya perlu menutupi wajahnya dengan kacamata hitam lebar.

“Sik asik sik asik kenal dirimu. Sik asik sik asik dekat denganmu. Terasa di hati berbunga-bunga setiap bertemu. . . . . .!” dendang Ayu Ting Ting disertai lenggang-lenggok sambil bergerak dari satu sudut panggung ke sudut panggung yang lain.

***

Matahari sangat terik. Jam dua siang pertunjukkan itu  dilangsungkan. Semua itu karena alasan padatnya acara, pilihan jam tayang, mengejar iklan, serta menyesuaikan dengan berbagai hal lain yang padat. Dan dengan imbalan uang lima puluh ribu rupiah, ditambah air mineral dan sebungkus nasi rames, hampir lima ratus penonton bayaran tumplek di tengah lapangan bola kota kecamatan itu.

***

Sagimo terus berjoget. Ia tidak dipecat. Seperti semua orang-orang lain, para penonton bayaran. Hanya bergerak lincah, dengan senyum cerah. Seperti tak kenal lelah. Keringat berleleran layaknya orang mandi. Sekujur tubuh basah. Di balik kacamata hitamnya sebenarnyalah Sagimo meneteskan air mata.

Dengan isteri dan seorang anak yang harus dihidupi, pendapatannya semata dari honor menjadi penonton bayaran mana cukup. Bekerja sebagai tukang batu sudah ditinggalkannya karena tubuhnya ringkih. Mau jadi penjual rokok dan minuman asongan modal tidak punya. Mau terus merepoti mertua sangat tidak mungkin.

Satu-satunya peluang yang masih memberinya penghasilan ya menjadi penonton bayaran, pendemo bayaran, pelayat bayaran, dan pekerjaan lain semacam itu. Tidak berubah, dan tidak menjadi lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun