Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Ide Besar Denmas Sandi

22 September 2016   22:36 Diperbarui: 23 September 2016   00:23 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menunggu bus lewat, Sumber Gambar: www.californiawatercolor.com

Tiap seniman punya obsesi punya ide besar, punya karya besar. Apapun itu, intinya pergulatan lahir-batin dalam karya itu bakal melambungkannya ke kejayaan yang gemerlap. Tidak mengherankan ia rela menjadi kurus kering kurang makan, menjadi pecandu berat, bahkan menjadi setengah sinting karenanya. Nyatanya hanya beberapa sosok saja yang mencapai puncak. Selebihnya menjadi semacam alas untuk kaki. Tak berguna, dan sengsara sepanjang hayat.

Soal ide besar itulah seorang seniman serba-bisa, seniman mumpuni dan kaya pengalaman Sandi bin Dalimin coba tampil di depan memperjuangkan nasib para seniman. Itu sebab sebulan terakhir ini Sandi bin Dalimin suka termangu-mangu kemanapun melangkah. Rupanya sebuah  ide besar, yang menggumpal-gumpal dalam kepalanya, siap untuk diledakkan. Bentuknya apa lagi kalau bukan sebuah proposal proyek!

***

Malam larut, aktivitas manusia seperti terhenti. Tinggal lelaki tua keriput dengan kacamata tebal pecah sebelah itu meringkuk di depan komputer tua, masih termenung-menung, entah apa yang harus ditulis. Jam dinding berlari cepat, dengan jarum pendek menunjuk angka tiga. Seorang temannya pernah meledek sambil tertawa-tawa sinis: “Tulisanmu tidak cocok untuk cerpen, apalagi novel. Paling pas kukira untuk bikin proposal. Semacam pengajuan bantuan keuangan pembangunan gardu ronda, WC umum, atau jalan desa. Haha!”

Sandi tidak marah, cuek saja. Toh ia bisa ganti mengejek kalau mau. Terlebih ejekan itu dirasa Sandi tidak meleset sedikitpun. Mengklaim diri sebagai seniman serba-bisa, sebenarnya dalam arti yang lain, yaitu bisa berkomentar atas karya orang lain ala kadarnya asalkan ketika pulang dibekali sekedar ongkos taksi dan uang makan. Bisa juga melukis graffiti, ikutan anak-anak muda yang mencuri-curi tembok orang untuk dicorat-coret gaya bebas. Juga bisa menjadi penari, khususnya pada acara dangdutan di taman-taman kota. Atau apapun yang lain. Orang bisa saja melecehkan. Tapi soal ide besar? Jangan tanya! Jaga tanggal mainnya, begitu suara bathin Sandi begitu yakin. Inilah saatnya tampil sempurna!

***

Tulis alamat lengkap dengan huruf kapital, lalu isi sekadarnya dengan sedikit sinopsis, nama diri dan alamat lengkap. Tentu dengan nomor telepon. Dalam kondisi seperti ini produk apapun yang dikerjakannya akan berperan besar. Ia biasa pinjam alamat rumah mentereng di depan gang sana. Tanda-tangani, beres! Selesai sudah surat pengantar dan proposal ide besar yang pasti akan mencengangkan siapapun yang membacanya!

Sandi bernafas lega. Seperti beban seberat gunung terlepas dari gendongannya.

Setelah sholat subuh, hari masih dingin dan gerimis berkabut di luar, Sandi bin Dalimin mengenakan pakaian yang terbaik. Celana kordoray warna krem, kemeja katun warna merah muda agak kedodoran, topi pet hitam, dan sepatu kulit coklat rombeng peninggalan tiga zaman. Ohya, jangan lupa sedikit parfum. Ia cermat mematut-matut diri agak beberapa menit di depan cermin, di kamar kos yang sumpek dan kumuh itu.

“Apalagi yang kurang, Denmas Sandi?” gumamnya parau kepada diri sendiri.

Ia melirik sekali lagi ke cermin, dalam pantulan kaca seorang lelaki tua terlihat kembali muda. Ya muda, paling tidak semangat dan ide-idenya. Dan semua itu membawa ingatannya kembali pada tiga puluh atau empat puluh tahun silam. Saat itu ia dengan perkasa coba menyatakan cintanya pada Madewi. Apa jawab perempuan putih, lumayan gemuk, dan hobi baca puisi itu? “Antrian agak panjang, Mas! Jadi harap sabar!” Sandi girang bukan kepalang. “Aku kamu terima? Benar? Kamu mau jadi pacarku?” Dijawab Madewi dengan menegaskan: “Asal Mas sabar saja. Antriannya agak panjang, kayak antrian mau naik  kapal laut kelas ekonomi!”

Dan benar, pada tahun ke sebelas dalam posisi menanti, Sandi baru mampu mewujudkan keinginannya mampir pada pelukan perempuan yang puitis dan bertubuh boros itu. Itupun kondisinya sudah tidak seperti dulu lagi. Sebab Madewi sudah beranak dua. Suami pertama mati, suami kedua minggat, dan suami ketiga tukang mabuk.

Tidak sempat meningkat pada mahligai rumah-tangga, Madewi minta pisah. Sandi bin Dalimin terlalu besar ide-ide dan rencananya, sehingga bahkan Madewi yang biasa bicara soal mimpi, soal keindahan pantai dan gunung, soal malaikat, dan kisah-kisah antah-berantah pun, tak mampu melayani. Sandi masih dalam status jomblo, dan sejak itu memang tidak pernah lagi mendekati cewek untuk memasang jerat. Sampai usia lima puluh lewat, Sandi tetap sendiri!

“Kinilah saatnya untuk menunjukkan pada dunia apa yang kumampu, apa yang kumau?

Tunggulah ide besar ini bakal menggegerkan dunia kesenimanan se antero negeri, tunggulah!” ucap Sandi sambil melangkah keluar pintu kamar kos. Pintu itu dibantingnya dalam sekali hentak, baru tertutup. Tidak perlu dikunci atau digembok, tidak ada apa-apa di dalam sana kecuali beberapa baju lawas, celana dan sarung teronggok berantakan, serta komputer tua yang lebih sering ‘hang’ daripada sehat!

Tentu dikempitnya map kertas warna merah dengan lembar-lembar kertas didalamnya, yang berisi semua ide hebat dan belum ada orang yang menemukannya.

Mendung tebal berhembus dari sebelah timur kota, mungkin sebentar lagi di sini pasti hujan lebat. Sandi ragu-ragu mau membawa payung atau tidak, atau lebih baik membawa jas hujan saja. Tapi memang tidak ada pilihan, ia punya kedua benda itu tapi sama-sama butut, dan akan sia-sia saja menghadang hujan yang selalu disertai angin kencang. Maka ya, lebih baik tidak membawa apa-apa, berdoa aja. Mudah-mudahan pas hujan ada tempat berteduh yang nyaman, atau sudah duduk manis di dalam bus kota.

“Mau kemana Denmas Sandi? Tumben, rapi banget! Mau lamaran ya. . . .?” pekik Yu Menik dari kejauhan. Jalannya repot membawa jinjingan ember kecil, dan di punggungnya tenggok besar berisi beberapa botol warna-warni berisi jamu.

 Sandi tidak menoleh, pura-pura tuli.

 “Sombong! Capek-capek kupanggil Denmas menoleh pun tidak. Sombong! ‘Kan perjanjiannya akan membeli jamuku kalau aku mau memanggilmu Denmas. Dasar seniman kere. . . . .!” gumam Yu Menik ngedumel. Tentu saja lelaki itu mendengar kata-kata menyakitkan itu. “Biar saja, lain kali kuladeni, mau berapa gelas, berapa botol jamu. Yang penting proyek ini harus berhasil. . . .!” bisik hati Sandi bin Dalimin coba menyabarkan diri.

Ia berjalan terus agak tergesa melewati gang demi gang, jalan tikus, lewat samping rumah dan halaman orang. “Pikiran jernihku tidak boleh dikotori dengan apapun,” ujarnya sendiri.

Belum sampai halte bus yang dituju gerimis mulai turun, tipis, lirih, seperti usapan tangan halus seorang ibu untuk bayinya. Sandi bin Dalimin mempercepat langkah, setengah berlari, lalu betul-betul berlari. Orang-orang lain juga berlarian. Ada yang mencari tempat berteduh, ada yang membuka payung atau jas hujan, dan ada pula yang terus berlari agar segera sampai ke halte bus.  

Nafas terengah hampir putus, baju setengah basah, dan celana kena becek, Sandi sampai halte. Ia menarik nafas panjang.

Beginilah memperjuangkan ide besar, baru mulai saja, ujian sudah menghadang: hujan! Itu suara dalam hatinya. Ahya, tentu bukan ujian berat bagi yang bermobil, yang rumahnya mentereng di depan jalan raya, tidak masuk ke dalam gang sumpek dan becek!

 “Mau pesta kemana, Bang?” sapa seorang lelaki, Gurman. Dengan akrab. Sandi tersenyum kecil, tangannya saja yang bergerak-gerak diiringi wajah dikerut-kerutkan.

“Oh, kukira kemana? Aku mau ikut kalau memang ada proyek bagus!” sambung lelaki itu sok tahu. Sandi cepat melengos sambil meraba saku celana belakang. Dompet yang berisi hanya beberapa lembar uang lima ribuan harus diselamatkan untuk ongkos bus.

Wajah Gurman mengingatkan Sandi pada kejadian setahun lalu. Ngobrol panjang soal ide cerpen sambil minum kopi. Saat mau bayar dompet raib. Terpaksa ia melepas jam tangannya untuk jaminan! Dengan tertawa-tawa mengejek Gurman mengembalikan dompet Sandi lalu buru-buru pergi. Sandi lega mendapatkan kembali dompetnya, tapi ketika dompet dibuka isinya tidak cukup untuk membayar tiga gelas kopi dan dua potong kue. Lembaran lain tentu sudah disambar Gurman copet itu!

Begitu bus kota sesuai jurusan yang dituju tiba, refleks Sandi tanpa pikir panjang terus melompat ke dalam bus. Celaka, map merah dengan berkas isinya tertinggal di bangku panjang di halte bus kota! Mumpung belum jauh Sandi minta berhenti! Bus memang berhenti, tapi sopir dan kondektur spontan memaki! “Brengsek! Begitulah pencopet, kalau tidak ada sasaran seenak udel minta turun. . . . .!” ujar sopir Wak Adung, yang ditimpali kondektur Mang Makiyun, dengan menggeram.

Sesampai di trotoar Sandi mengambil kerikil dan langsung menyambitkannya ke badan bus yang beranjak pergi. Bus itu meninggalkan deru knalpot dan asep hitam menebal menyesaki hidungnya. “Kalianlah yang brengsek! Tahu apa kalian tentang berkas-berkas berharga berisi ide besar seorang seniman?”  

Pada bus berikutnya, Sandi tak lupa menenteng map merahnya.

***

DI RUANG tunggu kantor guburnur, suasana seperti pasar. Ramai, riuh, dan sibuk. Sandi coba mencari-cari informasi? Di situ awak media berkumpul. Ada yang membawa tustel, kamera video, bawa notes, dan beberapa diantaranya sedang asyik dengan laptopnya. Tapi ada pula wajah-wajah seperti seniman: yang botak habis, yang gondrong sampai sebahu, atau rambutnya diminyaki sampai meleleh-leleh ke kerah baju. Sandi hafal aneka gaya penampilan para seniman. 

“Sudah lama nunggu, Mas?” tanya iseng Sandi pada seorang juru kamera yang sedang mengutak-atik lensa kamera.

“Tiga jam! Mungkin sore Pak Gubernur baru bisa memberi keterangan pers?”  jawab Mas Bagas nama juru kamera itu. “Nunggu Pak Gubernur juga?”

 “Ya, empat mata kalau bisa! Ini penting!”

 “Apa bapak konglomerat? Investor? Atau mungkin pejabat dari Pemerintah Pusat?” tanya kamerawan itu serius. “Hanya orang-orang sangat penting yang bisa bicara empat mata dengan Pak Gubernur. Itupun harus ada perjanjian dulu, Bapak. . . .?”

Sandi pura-pura tidak mendengar rentetan pertanyaan terakhir itu. Ia memberi tanda dengan kedua jari di bibir, lalu bergegas keluar dari ruang tunggu yang makin penuh. Ruangan seluas itu masih juga penuh orang. Mau ada acara apa sebenarnya ini?

Belum sampai dua puluh menit duduk rapi sambil mengisap rokok filter di tangga keluar bersama banyak wartawan dan seniman di situ, terjadi kegaduhan luar bisa. Sandi terjingkat berdiri, dan merangsek masuk untuk mengetahui apa yang terjadi. Seseorang Petugas Protokoler mengumumkan menggunakan pengeras suara: “Saudara-saudara, sebentar lagi Gubernur kita Bapak Domi Martandi akan mengumumkan sesuatu yang sangat penting, khususnya untuk para seniman. Dan bagi para pekerja pers, pengumuman Gubernur hari ini agar segera disebarluaskan, dan mulai dilaksanakan tepat pada pukul 00.00 tengah malam nanti! Sementara ini ruangan yang diperlukan untuk konferensi sedang dipersiapkan. . . . .!”

Puluhan orang berdesakan untuk mencari tahu lebih banyak tentang apa yang bakal diumumkan Gubernur, petugas itu tidak menjawab. Ia cepat berlalu menyelinap di balik pintu ruang Sekretariat Gubernur, dan menutup pintu bertuliskan “Mohon Tenang. Ada Rapat’.

Tidak sampai lima menit Pak Domi Martandi sudah keluar ruangan kerjanya, diikuti beberapa Kepala Biro, Petugas Sekretariat, juga Kepala Humas dan Protokol, menuju ruangan sidang, di samping kiri ruang tunggu. Speaker sudah disiapkan, tempat duduk rapi, juga dos makanan kecil di meja.

Sandi mengambil tempat paling depan setelah berjuang dengan mendorong dan menyelinap diantara orang lain. Ia bernafas lega, dan sebelum acara dimulai, dos isi kue dan air mineral itu lebih dahulu disantapnya dengan lahap. Ia lupa sejak pagi tidak makan-minum apapun.

 “Saudara-saudara, perlu saya sampaikan sesuatu yang sangat penting, khususnya untuk para seniman. Seperti tadi sudah diumumkan petugas protokoler.  Ini terkait dengan keterbatasan anggaran Pemerintah Gubernuran, juga berkaitan dengan efisiensi maka. . . . . .!”

Terjadi keributan di ruang sidang bagian belakang, saling dorong, saling sikut, saling injak kaki, dan akhirnya Sandi terbangun. Bus kota yang ditumpanginya itu ternyata mogok di tikungan menuju Pasar Baru. Semua penumpang sudah turun untuk berganti bus kota lain. Tinggal Sandi saja yang karena kelelahan yang amat-sangat tersungkur dalam dengkur yang tak tertahankan.

Ia bangun terjingkat-jingkat, lebih kaget lagi ketika kemudian menyadari dompet dan map merahnya raib. Sandi bin Dalimin menggerutu, memaki, dan menyumpah-nyumpah entah kepada siapa. Ia melompat keluar pintu dan menendang-nendangkan sepatu ke ban bus. Wajahnya kacau, pakaiannya kusut, sol sepatunya lepas. Ia tambah geram karena harus berjalan kaki pulang dalam gerimis, sambil membayangkan ide-ide besar yang tertuang di dalam lembar-lembar kertas di map merah itu bakal dijiplak seniman lain. Ah, dasar sial!***

Bandung, 23 April 2015– 22 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun