Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cinta yang Menua (Tamat)

21 Juni 2016   23:58 Diperbarui: 22 Juni 2016   00:16 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mengherankan sekali. Masih punya suami?”

“Justru suaminya itu yang melamarku agar menikahi isterinya bila ia meninggal nanti!”

“Tentu cantik sekali dia. . . .!”

“Jangan cemburu. Ia gemuk, cerewet, namun sangat perhatian sama suami. Cuma memang sekali lagi ia bukan seorang muslimah. . .. .!”

Diam beberapa saat. Hari makin senja. Sebentar lagi maghrib. Itu tanda berbuka puasa. Arjo mengajak Wasi untuk pergi ke masjid terdekat. Berjalan kaki saja. Di sana sudah mulai disiapkan takjil untuk berbuka para jemaah. Cukup banyak, berderet-deret. Bagian lelaki dipisahkan dari bagian perempuan.

“Jadi kesimpulannya apa dari pembicaran kita tadi, Bang?”

“Kesimpulan? Akun sudah mampu menempatkan diriku sebagai penonton dan pengagum seorang bintang. Sedangkan kamu belum. Bayangkanlah seorang penonton pentas kesenian tradisional Ketoprak. Ketika dipanggung ia menjai raja arif-bijaksana, orangnya ganteng dan sangat rupawan. Lalu banyak perempuan yang tergila-gila. Padahal dalam kenyataan sehari-hari ia bisa jadi tukang becak, pemulung, buruh pabrik, atau sekadar tukang ojek sepeda onthel. . . . . !”

“Aku mengerti, Bang!” ucap Wasi seraya melangkah ke jajaran takjil untuk perempuan.

Sebentar lagi maghrib. Sebentar lagi kumandang adzan akan digemakan. Pada saat itu tiap hati dan perasaan mestinya menyatu pada kepasrahan sebagai mahluk. Wasi pernah mengikuti nafsu kenekatan hingga berganti keimanan. Namun ternyata apa yang dikejarnya hanya fatamorgana. Dan kali ini pun ia merasa menemukan kembali fatamorgana. Beda usia yang jauh menjadi penyebabnya. Ia sadar betul alasan apa dibalik argumenasi panjang yang dikemukakan Arjo. Setitik air bening mengambang di pelupuk matanya.

Sebentar lagi maghrib tiba. Arjo pun menyadari cintanya pada apapun, juga pada Wasi, makin menua. Dan itu berarti pudar, samar, untuk suatu ketika kelak  hilang tak berpendar. . . . .! (Tamat)

Bandung, 21 Juni 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun