“Lalu?”
“Kalau Abang tak berkeberatan, aku mau mengajak abang menikahiku. . . . .?” ucap Wasi pelan namun begitu tegas dan jelas.
Arjo tidak bisa berpikir sesuatu, untuk sesaat. Tubuhnya seperti melayang, mengapung, dan tiba-tiba terbanting untuk menghadapi kenyataan.
“Apakah kamu punya semacam kenekatan seperti yang aku dan Retno miliki pada waktu lalu?”
“Mungkin saja. Kenekatan, kegilaan, atau apalah namanya. . . .!” sahut Wasi sambil memerhatikan dengan lembut wajah Arjo yang dirasakannya tiba hari bukan makin tua, tapi sebaliknya. Lelaki dan kelelakiannya makin tampak dari semua gerak, ucap, pikiran, dan bahkan ciri ketuaannya.
Angin sore mulai membesar. Mendung menggayut di timur kota. Langit cerah pada bagian lain. An arjo berpikir praktis saja. Semua itu hanya angan-angan, hanya mimpi. Dan setiap mimpi tidak harus sungguh-sungguh terjadil ia boleh semata lamunan konyol dan tolol. Arjo dengan umur tuanya mampu melihat semua itu dengan lebih jernih. Dan karena itu ia mampu mencari pemahaman lain dari apa yang dihadapinya.
“Wasi, tidak bisa kupungkiri bahwa sebagai lelaki nombal aku kagum dan dapat dikatakan jatuh cinta pada semuanya tentang kamu. Kecerdasan, kecantikan, ketenaran, dan bahkan belakangan kekayaanmu. . . . .”
“Teruskan, Aku mendengarkan!”
“Tapi kamu harus tahu aku seorang dramawan. Aku bahkan penulis naskah atas banyak lakon yang telah dipentaskan maupun yang tetap tinggal sebagai naskah. Aku mampu menempatikan diri sebagai penonton dan pengagum yang baik. Tapi hanya sekali saja aku salah melangkah, yaitu mengagumi dan kemudian menikahi Retno Pratiwi. Dari sana timbul kesadaran bahwa kekguman itu sangat abstrak. Kalau disuruh memilih aku akan menikahi Tante Martje daripada menikahimu. . . . .!”
“Siapa dia?”
“Isteri Bang Robby!”