Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cinta yang Menua (Tamat)

21 Juni 2016   23:58 Diperbarui: 22 Juni 2016   00:16 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lalu?”

“Kalau Abang tak berkeberatan, aku mau mengajak abang menikahiku. . . . .?” ucap Wasi pelan namun begitu tegas dan jelas.

Arjo tidak bisa berpikir sesuatu, untuk sesaat. Tubuhnya seperti melayang, mengapung, dan tiba-tiba terbanting untuk menghadapi kenyataan.

“Apakah kamu punya semacam kenekatan seperti yang aku dan Retno miliki pada waktu lalu?”

“Mungkin saja. Kenekatan, kegilaan, atau apalah namanya. . . .!” sahut Wasi sambil memerhatikan dengan lembut wajah Arjo yang dirasakannya tiba hari bukan makin tua, tapi sebaliknya. Lelaki dan kelelakiannya makin tampak dari semua gerak, ucap, pikiran, dan bahkan ciri ketuaannya.

Angin sore mulai membesar. Mendung menggayut di timur kota. Langit cerah pada bagian lain. An arjo berpikir praktis saja. Semua itu hanya angan-angan, hanya mimpi. Dan setiap mimpi tidak harus sungguh-sungguh terjadil ia boleh semata lamunan konyol dan tolol. Arjo dengan umur tuanya mampu  melihat semua itu dengan lebih jernih. Dan karena itu ia mampu mencari pemahaman lain dari apa yang dihadapinya.

“Wasi, tidak bisa kupungkiri bahwa sebagai lelaki nombal aku kagum dan dapat dikatakan jatuh cinta pada semuanya tentang kamu. Kecerdasan, kecantikan, ketenaran, dan bahkan belakangan kekayaanmu. . . . .”

“Teruskan, Aku mendengarkan!”

“Tapi kamu harus tahu aku seorang dramawan. Aku bahkan penulis naskah atas banyak lakon yang telah dipentaskan maupun yang tetap tinggal sebagai naskah.  Aku mampu menempatikan diri sebagai penonton dan pengagum yang baik. Tapi hanya sekali saja aku salah melangkah, yaitu mengagumi dan kemudian menikahi Retno Pratiwi. Dari sana timbul kesadaran bahwa kekguman itu sangat abstrak. Kalau disuruh memilih aku akan menikahi Tante Martje daripada menikahimu. . . . .!”

“Siapa dia?”

“Isteri Bang Robby!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun