“Kenapa?”
“Kami berbeda keyakinan. Dan semuanya memang beda. Apa saja beda.”
“Lalu apa sebenarnya yang menyatukan? Kesalahan memutuskan, keterpaksaan, atau apa?”
“Hampir seperti keterpaksaan, tapi ini juh berbeda. Kami disatukan semata karena kenekatan. Retno Pratiwi nama perempuan itu. Pemain watak di panggung, serba bisa, dan punya pesona artistik yang uar biasa.. . . . !”
“Ohh, begaimana itu?”
“Sulit dilukiskan ketertarikan Abang waktu itu. Lalu ego sebagai penulis naskah, sebagai sutradara, dan sekaligus penara dana untuk pentas yang harus didengar mengharuskanku menaklukan dia. Nekat. Dan dia pun menerima tantanganku dengan nekat pula. Kami menikah untuk menjalani semua perbedaan dengan mencoba sabar. Dan akhirnya memang kandas. . . . .!”
“Anak sudah empat waktu itu?”
“Ya, empat. Kariernya membaik, dan aku merelakan keempatnya dia yang mengasuh. Kini satu orang bekerja, dua kuliah dan si bungsu SMA.. . . .!”
Tak teras mobil sudah berhenti. Parkir di sebuah taman kota yang rindang dan teduh. Lapngan parkir luas. Dan banyak orang dengan anggota keluarga bermain apa saja di sana. Tentu suasana bulan Ramadhan sangat kentara. Orang menyebut waktu menunggu bedug Maghrib sebagai ngabuburit. Istilah bahasa Sunda itu menasional. Arjo tertegun dan membayangkan kembali ketika keluarganya masih utuh dulu. Tiga orang berpuasa yaitu Rahyu, Rahmi dan dirinya sendiri. Tiga orang lainnya tidak berpuasa, yaitu isterinya, Daman dan Damin. Itu karena keyakinan agama yang berbeda.
“Apakah kamu sengaja mengajakku ke tempat ini agar aku kembali pada isteri dan anak-anakku?” kata Arjo ketika menemukan bangku kosong.
“Sama sekali bukan!”