Ibram terduduk lunglai dengan tatapan kosong di ruang sempit pada sebuah gudang pelabuhan sederhana di utara kota. Malam terasa sangat pengap, tidak ada kipas angin, apalagi alat pendingin ruangan. Ya, namanya juga gudang tua. Mana enak untuk tempat tinggal.
“Mampus. . . . , mampuslah aku.. . . . .” teriak Ibram seorang diri.
“Berisik. Jangan bicara keras-keras di situ, kalau tidak kuusir kamu dari sini. . . . .!” seru Gunawan, sepupu jauh Ibram, yang masih bekerja administrasi di ruangan lain. Gunawan bekerja sebagai kepala gudang itu. “Kalau sampai poisi menangkapmu di sini, aku yang celaka. Itu kenapa hanya malam ini saja kamu boleh tinggal. Besok pagi-pagi sudah harus pergi. . . . . .!”
“Kau senang aku sengsara ya? Kau mau aku terlunta-lunta? Berapa banyak dulu aku pernah membantu keuanganmu untuk memperlancar bisnismu. Sekarang balasannya apa?” teriak Ibram dengan sangat marah.
“Apakah bantuanmu dulu harus kutebus dengan aku masuk penjara. Menyembunyikanmu di sini berarti aku melibatkan diri dengan urusan kriminalmu?” balas Gunawan tidak lagi berteriak.
Sejak kebakaran Ibram melarikan diri dari apapun dan siapapaun. Ia ingin menghapus jejak, namun perasaannya sendiri mengatakan bahwa tidak ada tempat dimananpun untuk bersembunyi. Kebakaran besar dengan kerugian milyaran rupiah dan diikuti kematian banyak orang, bahkan kematian mantan mertuanya sendiri, menjadikan hatinya terpukul.
Tadi pagi ia masih bersama Olleka. Bersembunyi di rumah seorang saudara jauh yang memiliki rumah besar di pinggir kota. Namun dengan kesepakatan keduanya merasa lebih aman kalau berpencar saja. Dan kalaupun salah satu tertangkap, yang lain masih bisa bebas.
Keduanya mengikuti pemberitaan di televisi tentang keterangan polisi yng telah sampai pada kesimpulan bahwa kebakaran ada unsur kesengajaan.
“Padahal kita sudah memiliki jalan lain. Ada orang yang bersedia membantu kita meski untuk itu perlu bayaran. Sudah ada uang muka sepuluh juta. Kenapa harus mengambil resiko besar dengan tindakan konyol itu. . . . .?!!” gumam Olleka terus menerus, seperti orang sedang merapal mantra. Namun kata-kata itu ditujukan kepada suaminya, Ibram.
Sementara sang suami tak kalah kacau, tegang, dan buntu jalan pikirannya. Ia hampir-hampir ak dapat berpikir lagi.
“Kamu ingin urusan cepat selesai. Pembunuhan melalui tindakan pembakaran tentu tidak mudah dilacak. Namun nyatanya apa? Banyak korban lain orang-orang tak berdosa yang justru menjadi korban. . . . . .!” ucap Olleka lagi. “Kita cepat atau lambat bakal jadi pesakitan. Polisi sudah menemukan bukti melalui CCTV bahwa memang ada orang yang mencurigakan yang melakukan tindakan pembakaran, dan atu kita, aku dan kamu. . . . . .!”