Bab IX – Dua (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)
Setelah berganti pakaian yang rapi dan wangi, Arjo hendak berangkat kembali untuk menemui Wasi. Sayangnya mendadak hujan turun lebat sekali. Ada guntur dan kilat bersabungan di langit. Air seperti ditumpahkan dari langit. Dengan curah hujan setinggi itu dipastikan banyak lokasi dan jalanan pasti becek, tergenang, bahkan banjir. Sejak zaman kolonial kota niaga di pesisir itu sudah menjadi langganan banjir.
Kala itu limpahan air hujan maupun terjangan air laut masih dapat dikelola dengan berbagai cara karena jumlah penduduknya masih terbatas. Seabad kemudian semua tempat air telah dihuni manusia. Bahkan sungai-danau dan saluran air telah dipersempit semata untuk permukiman. Warga kota mau tidak mau harus mengakrabi banjir.
Mnunggu beberapa lama hujan belum juga reda. Arjo menelepon Wasi untuk mengabarkan bahwa kondisi cuaca tidak memungkinkan lagi ia untuk keluar rumah kontrakan. Selain itu meski semangatnya untuk keluar rumah masih ada, tubuh tuanya menghendaki untuk beristirahat.
“Ya, aku maklum. Kita tidak bertemu kalau begitu, Bang. Namun satu hal mengganjal perasaanku, apakah Abang sudah menduga akan ada seseorang yang ingin mencelakai, bahkan menewaskan papi?” ujar Wasi dari seberang sambungan telepon.
“Sama sekali tidak. Memang ada rencana mereka untuk melepaskan diri dari tanggungjawab. Tapi tidak untuk mencelakai. . . . . .!” jawab Arjo, dan baru disadari beberapa detik kemudian bahwa ia secara tidak langsung sudah menjawab kecurigaan Wasi.
Wasi tidak meneruskan pembicaraan. Ia menutup sambungan telepon dengan harapan besok pagi dapat bertemu langsung. Untuk sementara waktu Arjo merasa tanpa beban pikiran. Ia akan tidur pulas saja di rumah kontrakannya Soal hari esok biarlah dipikirkan besok. Mencari dalih dan pembenaran perihal penerimaan uang sepuluh juta rupiah yang diterimanya dari Olleka sungguh tidak mudah.
***
Sementara itu jauh di utara kota, ketegangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu melanda hati seorang lelaki keturunan. Di sinipun hujan teramat deras. Curahannya seperti sapu lidi memukul-mukul atap seng. Dari jauh terdengar suara ombak laut berdeburan menghantam tembok dermaga. Angin bertiup sangat kencang. Pohon dan tiang-tiang serta bagian-bagian bangunan tinggi seperti bergoyang-goyang, sehingga menimbulkan bunyi riuh sangat gaduh.
Kalau ada orang yang sangat hampir mati karena tercekik oleh ketakutannya sendiri tak lain adalah Ibram, suami Olleka. Lelaki itu garang dan pemarah untuk urusan yang kadang dia sendiri tidak tahu bagaimana mendapatkan jalan keluarnya. Tidak mengherankan ia suka bertingkah serampangan dan gegabah. Ia sering terlalu cepat mengambil keputusan, dan terlalu cepat pula untuk menyesali. Lalu berputus-asa karenanya.
“Mampus. . . . , mampuslah aku. Andai tidak secara kebetulan aku berada di restoran yang sama. Andai saja kemarahanku tidak sedang tersulut malam itu. . . . . .!”seru Ibram dengan mulut beraroma alkohol seperti orang meracau.