“Halo, Bang. Sudah sampai rumah kontrakan?” seru Wasi terpaksa harus menelepon sambil terus mengemudi. Bila sekedar berkabar dengan banyak orang, ia suka sambil terus mengemudi. Namun untjk pembicaraan serius ia memilih menepi, cari tempat parkir yang nyaman, baru mulai menelepon. Kali ini sungguh darurat.
“Saya kehujanan, Neng, Ini juga baru mau mandi. Baru saja ketemu, sudah kangen ya. . . . .?” goda Arjo di seberang sana. Suaranya serak mungkin karena disela tertawa.
“Ini serius, Bang. Ketika di restoran sebelum kebakaran terjadi, apakah Abang melihat sesuatu yang mencurigakan. . . . .!”
“Maksudmu?”
“Kecurigaan pada dua orang lelaki perempuan yang kemungkinan sebagai pelaku?”
“Dasar pemikiranmu itu apa?”
“Abang seperti sudah tahu siapa pelakunya. Tadi di kantor polisi Abang mengajak cepat-cepat meninggalkan konferensi pers. Dan sekarang, baru saja kudengar dari Radio Semesta, dua orang berinisial O dan I kemungkinan pelaku pembakaran. Kini keduanya buron. . . ..!”
“Oh, begitu ya!” gumam Arjo tanpa memperhatikan mimik Wasi yang penuh keingintahuan.
Arjo tidak mau membuka informasi tentang Olleka dan suaminya. Itu semata untuk menutupi hubungan kerja yang terjadi diantara mereka. Jika hal itu sampai terbuka tentu ia akan sangat malu pernah punya rencana untuk menguntungkan pihak lain.
“Kita ketemu lagi bisa, Bang. Aku curiga seseorang memang mengincar kematian papi. Dan orang itu pasti bukan orang jauh. . .. .!” ucap Wasi, kemudian mematikan ponselnya tanpa menunggu Arjo menjawab. ***
Bandung, 15 Juni 2016