Bab VIII – Tiga (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)
Selain pertanyaan tentang kemungkinan adanya orang yang sengaja membuat kebakaran hingga memakan korban jiwa, pesoalan lain yang belum reda yaitu permusuhan antara Kelompok Cinta Damai dengan Organisasi Seberang Lautan. Tentu para jurnalis akan sampai ke sana juga ketika terjadi tanya jawab dengan Kapolres Kota Barat. Karenanya Arjo sengaja mengajak Wasi pergi agar tidak terlibat dalam urusan itu. Haji Lolong adalah orang di belakang salah satu organisasi. Tentu mudah saja menjadikannya saksi kalau benar pembakarnya adalah mantan suaminya.
“Kenapa tidak kita tunggu sampai selesai acara itu? Aku jadi agak bingung dengan apa yang ada dibenakmu, Bang. . . .!” ucap Wasi dalam perjalanan pulang.
“Aku takut kita terlibat. Cepat atau lambat akan diketahui siapa pembakar restoran dan apa motifnya.. . . .!” jelas Arjo kemudian. “Pengalamanku menyebutkan kita mesti pinter-pinter menjaga diri dari urusan polisi. Bayangkanlah kalau akibat kebakaran itu kamu sudah kehilangan papimu, lalu masih ditambah lagi dengan urusan lain yang bakal menghabiskan waktu, tenaga, dan bahkan uang. . . . .!”
“Uang?” tanya Wasi dengan bingung. Ia menoleh dan memperhatikan dengan lebih seksama ke wajah Arjo sambil berharap kata-kata itu tidak sepenuhnya disadari meluncur begitu saja.
“Ya, uang, seringkali tidak sedikit. Semua orang yang pernah punya urusan kalau ditanya akan menyatakan rasa penyesalannya. Kalau memang harus rugi ya biar saja rugi karena kecurangan orang lain. Kalau harus kehilangan ya biar saja. Kalau kita coba-coba menuntut balas, atau sekadar mencari keadilan, maka yang didapat bukan hanya makin kalah tetapi juga makin terpuruk!”
“Ini bukan dalam naskah drama ‘kan?”
“Pertanyaanmu jadi klise. Kapan-kapan kuajak Neng untuk lebih mengenal dunia drama. Tapi tidak sekarang. Saat ini kita menghadapi kenyataan, dunia sehari-hari yang tidak selalu manis. Sebelum meningal Papimu pasti sangat tahu itu. . . . . .!”
Kali ini dengan perasaan sangat berat Arjo yang mengemudi sedan itu. Ia merasa tidak punya cukup keberanian untuk menjadi orang kaya. Sekadar perasaan pun ia tidak berani. Dan sedan itu menjadikannya kayak orang langit yang menapak ke bumi. Namun oleh bujukan Wasi akhirnya Arjo mengalah.
“Soal keengganan mengemudikan sedan ini, bukan karena pernah menabrak orang ‘kan? Bukan karena pernah mencuri mobil orang ‘kan?” gurau Wasi yang membuat Arjo menghela nafas panjang dan tidak mampu segera menjawab.
“Bukan, sama sekali bukan karena itu. . . .!”
“Lalu?”
“Terus-terang saya tidak pernah lulus ujian SIM. Sudah berkali-kali diulang tetap saja tidak lulus. Pahadal saya yakin tidak kesulitan mengemudi. Aneh ‘kan!”
Wasi hanya tertawa, tidak tahu harus berkata apa. Namun pasti ada saja orang yang yang berjalan lurus karena mengikuti aturan. Ada pula orang yang tidak punya pikiran senyimpang sekecil apapun di tengah begitu longgarnya semua aturan yang dibuat. Dan mungkin saja Arjo seumur-umur belum pernah punya mobil, jadi untuk apa lulus ujian SIM mengemudi mobil?
“Oke, sesekali melanggar aturan tak apalah. Yang penting tidak nabrak saja cukuplah untuk syarat boleh mengemudi di jalan raya. . . . .!” komentar Wasi kemudian.
Setelah berputar-putar menghindari jalan macet, Arjo sampai juga di ujung gang Jalan Menur. Lelaki tua itu menghentikan kendaraan, lalu keluar. “Ini sudah sampai di ujung gang ke kamar kontrakan saya. Kalau ada urusan lagi kontak saya saja. Atau kalau tidak, temui saja di pangkalan ojek!” ujar Arjo sambil melambaikan tangan.
Wasi melambaikan tangan lalu pindah ke belakang kemudi, dan melajukan mobilnya menembus jalan kota yang padat. Sore semakin redup, mendung mengelayut di atas langit kota. Hujan seperti mengancam hendak menumpahkan seluruh isi perutnya.
Untuk menemani kesendiriannya, menjadi kebiasaan Wasi untuk memutar radio. Bukan siaran musik atau bincang-bincang aneka persoalan terakhir, tapi siaran berita. Ada stasiun radio yang menyiarkan khusus berita dari berbagai pelosok tanah air. Namanya Radio Semesta. Mungkin nama itu diilhami oleh kesejagadan, keduniaan, atau kata lain yang menggambarkan betapa seisi dunia telah mampu diringkas dalam sebuah tombol mungil di dalam sebuah mobil yang melaju di jalanan kota.
“Pendengar, dari kantor Polres Kota Barat disampaikan oleh jurnalis kami, bahwa kebakaran resotan Daun Bambu memang sebuah kesengajaan. Dua orang, lelaki-perempuan, diduga sebgai pelakunya. Keduanya terlihat pada CCTV yang sempat diselematkan oleh salah seorang karyawan restoran!” suaran bulat lelaki di studio Semesta. Kang Badrul nama penyiar itu. Logat Sundanya kental menyerupai suara Kang Ibing.
“Pendengar, polisi sudah mendapatkan data sementara. Inisial nama keduanya O dan I. Keduanya kini buron. Kepada siapa saja yang mengenal dan mengetahui keberadaan mereka, polisi berharap memberiahukan ke kantor kepolisian terdekat!”
Wasi geli oleh pemberitaan itu. Bagaimana mungkin orang akan kenal seseorang yang disebut namanya hanya dengan inisial. “Kalau memang mau minta bantuan orang ya disebut kepanjangan nama itu siapa. Betapa banyak orang bernama awal O dan I. . . . .! Dasar kamu. . . . Badrul, badrul. . !” gumam Wasi dengan nada agak kesal.
Namun sesaat kemudian Wasi tersentak, jalan pikirannya bergerak cepat, inisial nama I itu jangan-jangan nama mantan suaminya Ibram? Wasi cepat dapat menghubungkan kaitan nama itu dengan ajakan Arjo untuk cepat-cepat meninggalkan kantor polisi. Dengan tergesa Wasi mencari-cari toko swalayan atau tempat lain apa yang dapat digunakan untuk singgah sebentar. Ia harus menelepon Arjo.
“Halo, Bang. Sudah sampai rumah kontrakan?” seru Wasi terpaksa harus menelepon sambil terus mengemudi. Bila sekedar berkabar dengan banyak orang, ia suka sambil terus mengemudi. Namun untjk pembicaraan serius ia memilih menepi, cari tempat parkir yang nyaman, baru mulai menelepon. Kali ini sungguh darurat.
“Saya kehujanan, Neng, Ini juga baru mau mandi. Baru saja ketemu, sudah kangen ya. . . . .?” goda Arjo di seberang sana. Suaranya serak mungkin karena disela tertawa.
“Ini serius, Bang. Ketika di restoran sebelum kebakaran terjadi, apakah Abang melihat sesuatu yang mencurigakan. . . . .!”
“Maksudmu?”
“Kecurigaan pada dua orang lelaki perempuan yang kemungkinan sebagai pelaku?”
“Dasar pemikiranmu itu apa?”
“Abang seperti sudah tahu siapa pelakunya. Tadi di kantor polisi Abang mengajak cepat-cepat meninggalkan konferensi pers. Dan sekarang, baru saja kudengar dari Radio Semesta, dua orang berinisial O dan I kemungkinan pelaku pembakaran. Kini keduanya buron. . . ..!”
“Oh, begitu ya!” gumam Arjo tanpa memperhatikan mimik Wasi yang penuh keingintahuan.
Arjo tidak mau membuka informasi tentang Olleka dan suaminya. Itu semata untuk menutupi hubungan kerja yang terjadi diantara mereka. Jika hal itu sampai terbuka tentu ia akan sangat malu pernah punya rencana untuk menguntungkan pihak lain.
“Kita ketemu lagi bisa, Bang. Aku curiga seseorang memang mengincar kematian papi. Dan orang itu pasti bukan orang jauh. . .. .!” ucap Wasi, kemudian mematikan ponselnya tanpa menunggu Arjo menjawab. ***
Bandung, 15 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H