Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua

15 Juni 2016   06:50 Diperbarui: 15 Juni 2016   08:02 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lalu?”

“Terus-terang saya tidak pernah lulus ujian SIM. Sudah berkali-kali diulang tetap saja tidak lulus. Pahadal saya yakin tidak kesulitan mengemudi. Aneh ‘kan!”

Wasi hanya tertawa, tidak tahu harus berkata apa. Namun pasti ada saja orang yang yang berjalan lurus karena mengikuti aturan. Ada pula orang yang tidak punya pikiran senyimpang sekecil apapun di tengah begitu longgarnya semua aturan yang dibuat. Dan mungkin saja Arjo seumur-umur belum pernah punya mobil, jadi untuk apa lulus ujian SIM mengemudi mobil?

“Oke, sesekali melanggar aturan tak apalah. Yang penting tidak nabrak saja cukuplah untuk syarat boleh mengemudi di jalan raya. . . . .!” komentar Wasi kemudian.

Setelah berputar-putar menghindari jalan macet, Arjo sampai juga di ujung gang Jalan Menur. Lelaki tua itu menghentikan kendaraan, lalu keluar. “Ini sudah sampai di ujung gang ke kamar kontrakan saya. Kalau ada urusan lagi kontak saya saja. Atau kalau tidak, temui saja di pangkalan ojek!” ujar Arjo sambil melambaikan tangan.

Wasi melambaikan tangan lalu pindah ke belakang kemudi, dan melajukan mobilnya menembus jalan kota yang padat. Sore semakin redup, mendung mengelayut di atas langit kota. Hujan seperti mengancam hendak menumpahkan seluruh isi perutnya.

Untuk menemani kesendiriannya, menjadi kebiasaan Wasi untuk memutar radio. Bukan siaran musik atau bincang-bincang aneka persoalan terakhir, tapi siaran berita. Ada stasiun radio yang menyiarkan khusus berita dari berbagai pelosok tanah air. Namanya Radio Semesta. Mungkin nama itu diilhami oleh kesejagadan, keduniaan, atau kata lain yang menggambarkan betapa seisi dunia telah mampu diringkas dalam sebuah tombol mungil di dalam sebuah mobil yang melaju di jalanan kota.

“Pendengar, dari kantor Polres Kota Barat disampaikan oleh jurnalis kami, bahwa kebakaran resotan Daun Bambu memang sebuah kesengajaan. Dua orang, lelaki-perempuan, diduga sebgai pelakunya. Keduanya terlihat pada CCTV yang sempat diselematkan oleh salah seorang karyawan restoran!” suaran bulat lelaki di studio Semesta. Kang Badrul nama penyiar itu. Logat Sundanya kental menyerupai suara Kang Ibing.

“Pendengar, polisi sudah mendapatkan data sementara. Inisial nama keduanya O dan I. Keduanya kini buron. Kepada siapa saja yang mengenal dan mengetahui keberadaan mereka, polisi berharap memberiahukan ke kantor kepolisian terdekat!”

Wasi geli oleh pemberitaan itu. Bagaimana mungkin orang akan kenal seseorang yang disebut namanya hanya dengan inisial. “Kalau memang mau minta bantuan orang ya disebut kepanjangan nama itu siapa. Betapa banyak orang bernama awal O dan I. . . .  .! Dasar kamu. . . . Badrul, badrul. . !” gumam Wasi dengan nada agak kesal.  

Namun sesaat kemudian Wasi tersentak, jalan pikirannya bergerak cepat, inisial nama I itu jangan-jangan nama mantan suaminya Ibram? Wasi cepat dapat menghubungkan kaitan nama itu dengan ajakan Arjo untuk cepat-cepat meninggalkan kantor polisi. Dengan tergesa Wasi mencari-cari toko swalayan atau tempat lain apa yang dapat digunakan untuk singgah sebentar. Ia harus menelepon Arjo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun