Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua - Bab VII – Dua

5 Juni 2016   14:24 Diperbarui: 9 Juni 2016   23:18 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tawuran di pasar rebo. Sumber gambar: wartakota.tribunnews.com

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Bagas Waras ramai dengan kedatangan para korban kebakaran.  Ruangan yang luas itu tidak cukup memadai untuk menampung banyaknya jumlah pasien baru. Terpaksa harus ada yang digeletakkan di lantai menunggu tindakan dokter. Kondisi itu membuat rumah sakit mengerahkan semua dokter, perawat, dan tenaga lain. Karena jumlah pasien di IGD itu membludak, beberapa korban kebakaran memilih berpindah tempat ke rumah sakit lain meskipun jaraknya lebih jauh.

Suara teriak kesakitan, geraman, dan raungan menahan sakit terdengar bergantian. Ditingkah pula dengan suara tangis keluarga yang baru datang setelah mengetahui sanak-saudara mereka menjadi korban kebakaran. Tersebih ada beberapa orang yang datang ke rumah sakit sudah menjadi mayat, Tangisan makin riuh, membuat bising dan panik para perawat dan dokter. Padahal mereka harus berpikir cepat untuk mengklasifikasi tingkat keparahan akibat kebakaran. mengambil keputusan tindakan apa yang harus dilakukan terhadap satu persatu pasien mereka.

Ada yang mengalami luka bakar derajat satu, atau ringan, yaitu kebakaran yang mengenai kulit paling luar. Namun banyak pula yang luka bakar mencapai derajat dua. Hl itu terjadi karena luka sudah mengenai lapisan kulit yang lebih dalam dan menimbulkan rasa sakit/nyeri hebat, pembengkakan, kemerahan, berbecak-becak, dan inflamasi yang lebih parah.

Sementara itu korban kebakaran masih terus berdatang. Ada yang menggunakan kendaraan pribadi, ambulance, angkutan umum, serta ojek  sepeda motor. Pihak rumah sakit terpaksa menolak pasien baru, hingga sempat menimbulkan ketegangan dengan korban maupun keluarga korban yang baru datang.

“Kami mohon maaf IGD kami sudah penuh, Pak. Sudah banyak yang digeletakkan di lantai begitu saja oleh pengantarnya. Takutnya pasien tidak cepat terlayani. Kalau kondisi lukanya parah kami sarankan untuk membawanya ke rumah sakit lain saja. . . . .!” ujar seorang dokter perempuan dengan nada suara sangat hati-hati. Pada saat itu datang sekaligus tiga korban kebakaran. Dua orang tertimpa bara api hingga menghanguskan sebagian kulit, dan seorang lagi patah kaki kiri karena melompat dari pantai dua.

“Tapi kami hanya mengantar saja, Bu. Korban ini bukan sanak-saudara kami. Kami sudah membantu sampai di sini, masak sih mau ditolak?” ujar seorang pemuda pengemudi sebuah angkutan kota.

“Ini semata karena IGD kami sudah penuh. Tidak ada tempat lagi. Mohon maklum. . . . . .1” ujar Bu Dokter seraya meninggalkan korban baru di depan pintu instalasi itu. Ia segera berlari pada pasien yang menjerit-jerit kesakitan. Diberinya obat penenang sebelum dilakukan tindakan lebih lanjut. Secepat itu ia menangani pasien lain yang dalam kondisi kritis.

Wasi melihat dari kejauhan kondisi papinya yang sangat mengkhawatirkan. Sudah sadar beberapa menit ketika sampai di IGD Rumah Sakit Bagas Waras ini, namun tidak lama kemudian kembali pingsan. Wasi belum sempat bicara apapun pada papinya. Sementara para dokter dan perawat sangat sibuk mengurus pasien lain. Haji Lolong belum tertangani.  Pasien lain dianggap lebih parah untuk segera ditangani.

Wasi mengambil sebuah brosur tentang akibat musibah kebakaran yang tersedia di dekat tempatnya berdiri:  Seorang korban luka bakar dapat mengalami berbagai macam komplikasi yang fatal. Komplikasi itu berupa kondisi shock, infeksi. Selain itu memunculkan masalah pernapasan maupun trauma dan psikologis yang berat karena cacat dan bekas luka.

“Apa yang perlu kita lakukan, Bang?” tanya Wasi kepada Arjo yang terduduk di sudut dengan ketakutan.

“Hubungi keluargamu. Siapa saja mereka yang harus segera tahu. Kalau ada keluarga yang berprofesi sebagai dokter sebaiknya dihubungi pula. . . .!”

“Ide yang bagus. Aku sampai tidak terpikir ke sana. . . .. .!” ucap Wasi seraya menggunakan ponselnya untuk menghubungi keluarganya. Maminya, kakaknya Wiyasa, dan dua anaknya Erwan dan Erwin. . . . .! Wasi juga menghubungi pamannya, seorang dokter bedah, dengan harapan dapat memberi jalan keluar kesulitan yang kini dihadapinya.

“Sudah semua. Apa ada lagi yang lain yang harus kuhubungi, Bang?”

“Sopir mobil papimu. . . . .!”

“Ya ya, hampir lupa aku, Mudah-mudahan mobil itu tidak terkena akibat kebakaran. Takutnya kena percikan api, atau malah terbakar sama sekali karena terlalu dekat dengan sumber api. . . . . .!” sahut Wasi dengan  penuh kecemasan.

“Bersikaplah tenang. Dengan begitu kita dapat berpikir jernih. Mudah-mudahan papimu segera mendapatkan penanganan. Setelah itu dipikirkan kembali apa tetap mau di rumah sakit ini atau pindah ke rumah sakit lain yang penanganannya lebih baik.. . . .” jawab Arjo memberi pilihan.

“Setidaknya di rumah sakit lain pasien IGD-nya tidak berjubel seperti di sini. . . .!”

Arjo mengangguk-angguk saja, lalu diam termenung, berdiri mematung bersandar tembok. Pikirannya keruh. Baru dirasakannya beberapa bagian tubuhnya panas melepuh karena tersengat api, baju dan celana sobek pada beberapa tempat, dan tenaganya habis terkuras. Tanpa berkata apapun ia melangkah ke pojok halaman rumah sakit/ Ia mengeluarkan sebatang rokok kretek, menyulutnya, dan mulai bermain-main dengan hembusan asap putih.

Beberapa pengantar lain juga merokok di dekat lampu taman. Padahal tak jauh dari mereka terdapat tulisan besar menyolok: Dilarang merokok di lingkungan rumah sakit. Orang-orang itu berlagak sebagai si buta huruf. Sedangkan yang lain berperilaku sebagai orang bodoh yang tidak memahami makna tulisan. Maka merokok pun berlangsung dengan sangat santai dan bebas.

Belum sampai lima sedotan, Arjo  melihat lambaian tangan Wasi. Maka puntung panjang itu dimatikan di tanah dengan tergesa. Sayang sebenarnya membuang rokok yang masih panjang. Kalau di rumah kost ia akan menyimpan puntung itu untuk dihisapnya kembali beberapa waktu kemudian.

“Apa jantungmu belum berlubang, Bang?” tanya Wasi setelah Arjo mendekat.

“Mana kutahu? Lagi pula aku merasa sehat-sehat saja kok. . . . .!” ucap Arjo berkilah. Padahal sebenarnya memang sesekali terasa nyeri di dada. Terlebih jika jumlah batang yang dirokoknya dalam sehari sampai satu bungkus.

“Ya, tentu saja. Hanya orang sehat yang merokok. Tapi akibat banyak merokok itu paru berlubang, seperti papiku. Kata dokter kalau tidak segera diberi pengobatan maka kematian sudah di depan mata. . .”

“Begitu ya, aku sangat sehat. Kamu lihat tadi aku mengangkat papimu ‘kan?” jawab Arjo membela diri. “Mungkin lelaki lain seumurku sudah tak mampu lagi mengangkat beban seberat itu. Aku masih kuat”

“Mudah-mudahan itu berarti paru-paru Abang tidak berlubang!”

“Ada jutaan sebab orang menemui ajal. Rokok hanya salah satu saja. Jadi tidak relevan bahaya merokok untuk ditonjol-tonjolkan. Kamu bisa mengambil perbandingan, seorang sopir bus malam atau sopir truk antar kota antar provinsi yang harus menahan kantuk agar kendaraan yang dikemudikannya selamat sampai tujuan. Tentu ada banyak cara, satu diantaranya dengan merokok. Ngantuk atau merokok? Celaka atau selamat? Pilihan yang tidak gampang, ‘kan?

Dokter Fred Wijoditomo, paman Wasi yang berambut tebal keperakan, menelepon direktur Rumah Sakit Bagas Waras untuk memberi perhatian lebih besar pada pasien korban kebakaran bernama Haji Lolong. Doker itu datang sendiri. Secepat itu penanganan dilakukan. Namun semuanya terlambat. Kondisi jantung Haji Lolong yang lemah, dan mungkin beberapa penyakit lain yang dideritanya selama ini menjadi penyebab nyawanya tidak tertolong.. . . .

Mengetahui hal itu Wasi menjerit histeris. “Papi. . . . papi! Jangan tinggalkan Wasi, Pa. Kenapa Papi begitu tega meninggalkan Wasi. . . . . . !” jerit Wasi begitu kerasnya.

Arjo memeluk perempuan itu agar tenang. Membujuk, dan menenangkan. “Tenanglah, Neng. Jalan ini kukira yang terbaik yang dipilihkan Tuhan. Ia pergi setelah berubah kembali menjadi orang baik... . . .!”

Pelukan spontan itu membawa Wasi pada kenangan dibonceng Arjo dengan sekilas dibauinya parfum yang sangat dikenalnya: Etienne Aigner dengan aroma khas buah lemon.Parfum mahal itu dulu menjadi kesukaan suaminya Ibram. Entah kenapa Arjo pun punya selera yang sama. Sejenak Wasi tertegun dan tenggelam dalam kilasan romantisme masa lalu. Gairah itu tiba-tiba seperti meletup pada diri seorang lelaki tua seusia papinya. Wasi tergugu oleh kesedihan ditinggal papinya, sekaligus juga kesusahan ditinggal masa lalunya yang seolah mencibirnya.

Jerit tangis Wasi tanpa sadar membuat Arjo ikut meneteskan air mata. Diingatnya hal itu merupakan tangisan pertama setelah puluhan tahun tidak pernah mampu memperturutkan kata hati untuk bersedih, terlebih bila harus mengeluarkan air mata. Itu kenapa dalam seni peran yang sejak muda digelutinya Arjo tidak optimal menjiwai karakter yang cengeng dan melankolis.

 “Kematian itu begitu dekatnya, begitu mudahnya. Tapi kiranya papimu memang sudah mendapatkan firasat mengenai hari akhirnya.. . . . . .!” ujar Arjo setengah berbisik di telinga Wasi. “Menangis seperlunya saja tidak apa-apa. Dalam agama, menangisi orang mati secara berlebihan sangat dilarang. Sebab tindakan itu bisa diartikan sebagai tidak menghormati keputusan Tuhan, bahkan dikhawatirkan bisa justru menyalahkan Tuhan. Itu sangat tidak baik, bahkan salah!”

Pelukan Wasi merenggang dan kemudian lepas ketika keluarga besarnya datang. Mami, Wiyasa, serta Erwan dan Erwin datang bersamaan. Di dekat tubuh Haji Lolong yang tergolek kaku, mereka pun menangis sejadi-jadinya. 

“Papi, kenapa kamu benar-benar pergi mendahuluiku.. . . . .!” jerit Mami dnegan nafas tersengal-sengal. “Hari ini kamu tidak pamit mau pergi kemana. Hari itu bukan kebiasaanmu dalam berbisnis. Agaknya kamu akan pergi jauh !”

Mata Mami basah karena menangis, sampai nafasnya tersengal-sengal.Namun ia sempat menjeling pada sosok tinggi besar yang tidak diketahuinya akrab dengan Wasi. Pikiran yang sama berkecamuk di kepala Wiyasa, serta dua anak Wasi yaitu Erwan dan Erwin. Siapa lelaki ini? Sahabat atau musuh? Lalu apa hubungannnya dengan kematian papi?”

Sementara itu mendapati pandangan menyelidik itu Arjo jadi salah tingkah. Ia ingin beramah-tamah memperkenalkan diri. Namun waktunya dirasa tidak tepat. Suasana duka tidak memungkinkan mereka memikirkan hal lain kecuali hal-ihwal kematian, persiapan pemakaman, pengajian, dan berbagai kegiatan lain.

***

Terkait dengan kebakaran rumah makan Daun Bambu malam itu juga polisi meminta keterangan beberapa saksi mata yaitu para pekerja dapur serta korban. Untuk sementara keterangan yang dihimpun menyebutkan adanya kesengajaan dari orang yang tidak dikenal untuk terjadinya kebakaran. Semua media, dari televisi, radio, hingga media online berlomba-lomba menyiarkan peristiwa itu dengan sangat rinci.

Gambar bergerak yang ditampilkan mulai dari hebatnya api kebakaran, kerusakan yang ditimbulkan, hingga penyelamatan para korban, diperlihatkan tim liputan Nayaka TV dengan begitu jelas dan dramatis.

Seorang juru masak senior restoran Daun Bambu, Darwi Munar, kepada awak media menjelaskan:  “Dua orang, lelaki dan perempuan, diketahui secara diam-diam memasuki dapur restoran dengan alasan mau melihat cara memasak menu yang dipesannya. Tidak diketahui pasti apa  yang mereka dilakukan kemudian. Sebab semua juru masak terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing untuk memenuhi pesanan. Lalu tercium bau gas menyengat, diikuti ledakan hebat dan kobaran api yang menghanguskan tiga lantai restoran sekaligus. . . . .!”

Lalu dilanjutkan dengan keterangan Wasistra Anggraini, yang disebutkan penyiar berita sebagai presenter acara Bincang Jelata di Nayaka TV.

“Ini kebakaran sangat besar, dan dahsyat. Kami sedang makan dengan ayah saya dan seorang sahabat. Tiba-tiba terdengar ledakan keras diikuti kobaran api dari arah dapur. Ya, dapur berada di lantai pertama. Kami duduk di ruang kaca lantai pertama, jadi tahu persis kejadiannya. Pengunjung cari selamat dengan berdesakan. Kami beruntung dapat keluar tempat kebakaran dengan selamat. Tapi papi saya pingsan dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Saya khawatir ada korban lain luka-luka, bahkan tewas. . . . .!”

Penyiar berita menyebutkan, pemilik restoran sukar dihubungi karena shock berat. Selanjutnya liputan berita itu menyebutkan ada belasan orang tewas, dan puluhan lainnya luka berat dan ringan. Puluhan mobil pemadam kebakaran dikerahkan. Selain itu dibantu dengan lima ambulance. Kerugian diperkirakan mencapai milyaran rupiah. Akurasi isi liputan itu tentu belum cukup lengkap. Keterangan resmi polisi baru dapat disampaikan pada keesokan harinya. Terlebih dengan kemungkinan adanya unsur kesengajaan atau sabotase, penjelasan Polisi  sangat dinantikan media.

Melalui jaringan telepon, penyiar berita stasiun tv itu mencoba menghubungi Kapolda Jaya, namun jawabannya sangat normatif. Tidak menambahkan hal-hal penting kecuali yang sudah disampaikan oleh narasumber sebelumnya. Dan soal kemungkinan adanya tindak sabotase, pimpinan polisi itu menyatakan tidak berani berspekulasi. “Kemungkinan ada-tidaknya tindak sabotase  dalam kasus kebakaran restoaran Daum Bambu itu akan diselidiki dalam dua hingga tiga hari mendatang! Itu saja penjelasan yang dapat kami berikan hingga malam ini!”

***

Terkait dengan adanya unsur sabotase itu anak buah Haji Lolong di Pasar Kebon Klengkeng yang jumlahnya mencapai ratusan orang preman dan tenaga kasar di sana sudah mengambil kesimpulan bahwa pihak lain telah mengincar kematian bos mereka.

Timo Chow sebagai tokoh Organisasi Cinta Damai dibawah pengawasan Haji Lolong  menyatakan perang terbuka terhadap siapapun yang mengincar kematian pimpinan mereka. “Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Tidak ada kelompok lain di luar Geng Pasar Kebon Klengkeng yang berani mengusik keberadaan bahkan nyawa bos mereka kecuali Kelompok Seberang Laut. Maka mulai detik ini kami menyatakan perang terbuka dan menuntut balas.. . . . .!”

Kelompok yang dituding secara langsung itupun tentu tidak terima nama organisasi mereka dibawa-bawa dalam persoalan yang tidak mereka ketahui. Salim Buncis sebagai presiden kehormatan Kelompok tanpa perlu check and recheck menyatakan siap berperang. Tak lain memang kelompok mereka yang selama ini menjadi seteru kelompok preman di bawah pengaruh Haji Lolong.

Suasana panas dan saling ancam melalui media sosial tak mungkin dihindari. Dan kalau pihak aparat keamanan tidak cepat mengantisipasi  rencana perseteruan maka tawuran masal serupa perang kota bakal kembali meletus sangat dahsyatnya. . . . . . !  (Bersambung)

Kendal, 5 Juni 2016

Sumber gambar : di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun