Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta yang Menua - Bab VI – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

31 Mei 2016   11:47 Diperbarui: 31 Mei 2016   16:45 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana restoran sampai malam tetap ramai. Keluar-masuk silih berganti. Pelayan lalu-lalang untuk  melayanan pesanan pengunjung. Alunan musik instumentalia lagu-lagu daerah, diselang-seling dengan lagu Mandarin, mengiringi suara sendok-garpu, percakapan, galak-tawa, dan  suara kompor di dapur.

Wasi makan dengan cepat, tentu saja sisa makanan masih banyak, dan seperti kata Haji Lolong, ada sepuluh orang lain yang sudah menunggu. Mereka merupakan orang-orang yang kurang mampu, para pengurus masjid, dan petugas kebersihan jalan umum. Mereka diundang secara acak dari beberapa kawasan, lalu disediakan jemputan dan diberi uang saku ala kadarnya.

Sebelum mereka mulai makan, Haji Lolong memberi beberapa kata petuah. “Nah, kalian makan enak malam ini ya. Tapi ingat, makan enak itu melenakan dan tidak sehat. Makan enak berarti makan banyak. Jika sudah begitu pasti malas mengerjakan apa-apa. Bahkan bisa lupa sholat dan ngaji, lupa bekerja, dan lupa segalanya.. . . . . .!”

“Tapi Pak Haji pasti makan enak tiap hari!” celetuk salah seorang petugas kebersihan masjid.

Haji Lolong tertawa lebar sambil mengangguk-angguk. “Jangan lihat badanku yang besar ini. Lihatlah perutku, tidak buncit ‘kan? Sebab aku makan dengan hidangan sederhana, yang penting sehat. Tidak tiap minggu aku makan dengan menu seperti ini. Ini gara-gara menghormati Jon Bongsor saja. . . . .!”

“Oh, begitu ya? Masak sih orang kaya makannya sederhana?” tanya seorang ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai pemulung.

“Iya, Bu. Makan sederhana itu sehat. Bekerja dan beribadah jadi bersemangat.. . . . . Nah, sudah dulu ngobrolnya. Nanti malah tidak jadi makan. Ayo makan sampai kenyang. Tapi jangan terburu-buru, jangan rebutan, jangan makan yang terlalu pedas. . . . . .!” tambah Wasi sambil berdiri dari duduknya.

Kesepuluh orang itu mengambil kursi masing-masing. Lalu piring diedarkan bersama sendok garpu. Namun ada yang lebih suka menggunakan tangan saja. Beberapa orang yang makan menggunakan tangan sudah bersiap dengan mencuci tangan dengan sangat bersih sambil mengingat-ingat betapapun nafsu makan memuncak tangan kiri tetap tidak dipergunakan.

“Ayo kita pindah ke ruangan lain. Tempatnya sudah disiapkan. Biar teman-teman kita ini makan-minum dengan leluasa, tidak canggung karena ada kita. . . . . .!” ajak Haji Lolong kepada Arjo dan Wasi.

Begitu orang-orang itu mulai sibuk makan, ketiganya pindah ke ruangan lain. Dengan apa yang dilihatnya itu Arjo sekali lagi menemukan sesuatu yang tak terduga pada sosok Bro Haji. Apa yang dilihatnya dalam beberapa jam ini berbeda sama sekali dengan semua hampir-hampir menjadi keyakinannya. Arjo mengingat pembicaraan seorang  kawan sesama pengojek sepeda onthel  yang mengomentari bahwa untuk bertemu dengan Haji Lolong harus memiliki nyawa rangkap.

Mereka pindah di ruangan yang lebih kecil, namun tetap dikelilingi kaca dengan hiasan lukisan khas Tiongkok. Sebelum duduk Arjo minta izin untuk pergi ke ruangan khusus untuk perokok. Dari tadi ia menahan keinginan untuk menghisap rokok kretek yang dikantonginya. Kepulan asap setelah makan akan membuatnya melayang untuk memikirkan hal-hal yang kadang terasa muskil terlebih jika bebicara soal kreativitas dalam berkesenian.

“Bro Haji, saya perlu ruangan lain dimana setiap orang bisa bebas menghembuskan asap sisa dari pembakaran di paru-paru sendiri. Di sini ruangannya terlalu sempit, dan tidak ada tandanyang menggambarkan sebuah kebebasan. . . . . !” ucap Arjo berdalih dengan kalimat yang memutar-mutar tidak gampang dimengerti.

“Apa tidak ada kalimat yang lebih simpel dari itu?” jawab Haji Lolong dengan sikap kurang suka.

“Ada. Merokok. . . . .!” ucap Arjo serasa menempelkan jari telunjuk dan jari tengah ke bibirnya sendiri.

“Merokok? Tidak adakah pilihan hidup lain yang lebih mentereng dibandingkan bunuh diri?” tanya Wasi dengan kalimat tegas memperlihatkan ketidaksetujuannya pada sikap seorang perokok. “Apakah Bang Arjo akan minta izin untuk merokok ketika malaikat maut sedang bekerja mencabut nyawamu?”

“Justru malaikat mautnya saya ajak merokok bersama-sama agar mereka lupa tugasnya. Tapi kalau kaitannya dengan bunuh diri, rasanya jauh dari keadaan seperti itu. Rokok dalam banyak hal justru uuntuk menjaga kesehatan. Setidaknya menjaga kesehatan ekonomi para krator seni dan budaya. Bayangkanlah kalau paa seniman dilarang meerokok lalu ide-ide buntu, mampat, mengkristal, tak mampu diekspresikan dengan tepat, apa yang bakal terjadi?” bujuk Arjo dengan suara didamatisir agar terasa makin meyakinkan.

Haji Lolong hanya melihat saja pembiaraan anaknya dengan Arjo. Ia tidak melihat soal benar-salah, kalah-menang, namun lebih ke soal binis. Ada beberapa usahanya yang berkaitan dengan rokok, baik penyediaan barangmaupun soal sponsorship. Bahkan ia pun belum lama berhenti merokok, sejak kesehatan parunya divonis berlubang. Namun ia harus menatakan sesuatu agar perdebatan tidak justru meruncing kontra produktif.

“Begini saja. Silahkan Jon Bongsor mencari tempat untuk merokok sekarang, tapi kami akan pulang saja. Urusan ini dipending dulu sampai entah kapan nanti. Karena aku menilai Jon Bongsor lebih mengutamakan kesenangannya sendiri dibandingkan menghormati komitmen persahabatan. . . . . 1’ ujar Haji Lolong dengan sangat tegas.

Arjo tak berkutik kecuali menuruti apa kata Haji Lolong. Ia masuk ke ruang kecil itu dengan langkah berat, dan mengambil tempat duduk dengan wajah kaku kehilangan gairah. Tiba-tiba ia merasa harga dirinya terinjak sangat telak. Namun  sekali lagi ia harus bersabar, ikhlas untuk menjadi orang yang kalah, sebab keadaannya yang tidak memungkinkan untuk memberontak. Soal merokok baginya sejak dulu bahkan bisa dibilang soal hidup-mati. Namun kini urusannya berbeda sama sekali.

“Oke silahkan pembicaraan apa yang hendak Bro Haji dan Neng Wasi sampaikan. Saya Cuma bisa mendengarkan saja. Soal merokok biarlah kita lupakan.. . . . .!” ucap Arjo dengan suara menyerah.

Untuk menenangkan perasaan terkalahkan lelaki tua itu, dengan lembut Wasi menepuk-nepuk pundak Arjo. Seperti menenangkan hati seorang bocah yang keinginannya tak terpenuhi. Naluri sebagai seorang ibu mengharuskan diperlihatkan kasih-sayang yang melindungi dan membela. Meski dengan sekadar gerakan kecil yang tak berarti.

“Baiklah, aku mulai saja ya, Pa. . . .!  Tidak ada sesuatuyang luas biasa sebenarnya, inti pembicaraan ini pendek saja. Kami menawarkan Bang Arjo, atau dalam panggilan papi menjadi Jon Bongsor, bekerja penuh pada kami. Alasannya sederhana, kami ingin Bang Arjo bekerja sepenuhnya pada kami. Sepenuh hati, pikiran dan tenaga yang dimiliki. Apalagi saya dengar Bang Arjo seorang duda dengan tanggungan anak semua kepada iseri terdahulu.

“Ya, duda. . . . .!” sahut Arjo.

“Nah, di sini rasanya tidak perlu satu-persatu pekerjaan diurai. Karena satu pekerjaan berkaitan dengan pekerjaan lain, saling timbal-balik dan terkait, serta tidak dapat diukur yang satu kurang penting daripada yang lain, semua penting dan harus diprioritaskan. . . .!”

Arjo sama sekali belum mengerti apa yang dimaksud Wasi. Ia bingung. Namun keinginannya untuk segera selesai karena niatnya untuk merokok melebihi pikiran sehat lain. Ia akan setuju begitu saja. Bersamaan dengan itu sambil melupakan perjanjiannya dengan Olleka si cewek tomboy, isteri dari Bang Ibram. Bang Ibram ini mantan suami Wasi.

“Uang sepuluh juta rupiah dari mereka harus segera kukembalikan.. . . . !” ujar batin Arjo. Itu bagian dari sekian milyar yang mereka janjikan. Tapi peristiwa buruk yang dialaminya itu mengajarinya sebuah kesadaran baru yaitu keinginan untuk berubah pikiran.

Lelaki jangkung itu memiliki keyakinan baru bahwa Wasi dan papinya Haji Lolong jauh lebih dapat dipercaya. Meski kini ia belum bernegosiasi soal harga dan biaya. Bahkan meski belum diceritakan jelas, urusannya lebih mudah dan sedehana. Bukan soal nyawa dan kematian,  Bukan soal rebutan warisan atau pembagian harta gono-girii dua orang suami-isteri.

“Mudah-mudahan Olleka tidak punya pikiran untuk membunuhku. Perempuan yang berpanampilan laki-laki itu bisa saja sangat sadis untuk mendapatkan kemauannya,” kembali pikiran Arjo yang sibuk berargumentasi sendiri.

“Apakah pekerjaan ini mampu menjamin hidup masa tua saya. Tanpa perlu saya jelaskan sebenarnya saya sudah mendapatkan tawaran lain yang bernilai beberapa milyar rupiah. Namun karena ada Wasi maka pikiran saya berubah. Tanpa penjelasan panjang saya mempercayai Wasi!” kata Arjo dalam hati seolah meluncur begitu saja. Tanpa sadar perasaan dalam hati kecilnya pun terungkap. Dan baru disadarinya kemudian dengan perasaan malu yang sulit disembunyikan.

“Jangan-jangan Abang jatuh cinta kepadaku, benarkah?” tanya Wasi spontan, dengan nada bercanda.

Haji Lolong menanggapi ucapan itu dengan tersenyum. Ia tidak membayangkan lelaki yang bahkan lebih tua dari dirinya itu bakal menjadi mantu. Namun nasib dan perjodohan memang tidak mudah diramal-ramal. Seperti juga kelahiran dan kematian, soal jodoh merupakan salah satu rahasia Ilahi. 

“Hahaha. . . .  Neng terlalu berterus-terang. Tapi mungkin saja benar. . . . .!” jawab Arjo dengan lagak bercanda. Padahal di dalam hati kecilnya harapan untuk dekat dan kemudian meningkat menjadi hubungan yang lebih serius bukan tidak ada. Meski tua fisik dan hasrat Arjo sebagai lelaki tetaplah normal. Kalau saja ia memiliki banyak keleluasaan, misalnya secara ekonomi, tentu tak sulit baginya untuk memenuhi tantangan apapun agar niatnya dapat terpenuhi.

“Kembali ke pokok soal, apakah Bang Arjo menerima tawaran kami ini? Soal pengahsilan per bulan dibicarakan nanti, termasuk juga soal bagi hasil, dan bahkan juga berbagai fasilitas lain yang menyertai. Satu hal yang penting, papi ingin sedikit demi sedikit meninggalkan dunia premanisme. Papi bahkan ingin menjadi seorang anggota dewan. . . . .” sambung Wasi kemudian.

“Anggota dewan? Untuk apa?” spontan Arjo berkomentar.

“Papi ingin ikut menata dunia usaha yang karut-marut oleh praktek-praktek curang dan menipu Sekali lagi, dengan banyak pengalaman yang dirasakan dan dipikirkannya selama ini papi ingin meninggalkan dunia hitam.. . . .!”

“Oh, mulia sekali. Penampilan tetap preman pasar, namun perilakunya telah berubah menjadi malaikat. . . . . .!” Arjo melirik kepada Bro Haji yang tersenyum tipis sulit diduga apa maksudnya.

“Nah, apa jawabanmu Jon Bongsor? Kulihat tidak ada ketegasan dari kaa-katamu. Jangan-jangan kamu sudah punya perjanjian dengan orang lain soal pekerjaan dengan gaji danjanji yang jauh lebih besar daripada yang kami tawarkan?” seru Haji Lolong dengan suara agak dikeraskan. Mungkin setengah menggertak.

Was-was juga hati kecil Arjo melihat ancaman yang tiba-tiba dirasakannya dalam nada suara itu. Lelaki itu berpikir keras. Meski wajahnya tersenyum, pikirannya kalut. Apakah ia akan memilih perjanjian yang diawali dengan makan malam begitu mewah, atau sebaliknya mengambil perjanjian  yang diawali dengan penyekapan dan penyiksaan? Bingung!

Arjo ingin berpikir beberapa detik saja sendiri. Dan seketika ia ingat nasib rokok yang ada di sakunya. Maka dengan isyarat tangan ia mengatakan akan ke toilet. Cepat ia keluar ruangan kaca itu sambil membayangkan mungkin dua tiga sedotan dari rokok kreteknya cukuplah.

Ketika ia berjalan di antara lalu-lalang pengunjung dan pelayan itu Arjo melihat selintas sosok Olleka dan seorang lelaki tambun entah siapa dari belakang. Hanya sepintas, namun otak Arjo cepat menduga-duga, Ada dua kemungkinan apa yang mereka pikirkan, pertama Arjo sudah mulai memasang perangkap untuk kepentingan mereka; dan kedua sebaliknya Arjo justru hendak mengkhianati mereka. Sambil berpikir Arjo memegang dompet di saku celananya dan membayangkan gepokan uang itu harus segera dikembalikan.

Arjo baru akan melangkah ke ruang khusus perokok ketika tiba-tiba timbul kehebohan dari arah dapur. Beberapa pelayan berlarian tunggang-langgang. Dan tak lama kemudian bunyi ledakan dahsyat disertai api yang membesar menghanguskan. Suara ledakan yang menakutkan dan api membesar serta asap tebal dari arah dapur di lantai pertama menyebabkan pengunjung panik. Teriakan histeris bercampur dengan caci-maki, langkah kaki dan meja-kursi yang terbanting dilanggar orang-orang menyelamakan diri. Api cepat menyebar dan membesar karena bahan kayu, rotan, dan bahan lain yang mudah terbakar. Kebakaran sangat cepat menyebar, dari lantai pertama hingga lantai ke tiga. Situasi berubah menjadi kacau-balau, hiruk-pikuk, lintang-pukang . . . . . (bersambung)

Kendal, 31 Mei 2016

Sumber gambar 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun