Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta yang Menua - Bab VI – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

31 Mei 2016   11:47 Diperbarui: 31 Mei 2016   16:45 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Anggota dewan? Untuk apa?” spontan Arjo berkomentar.

“Papi ingin ikut menata dunia usaha yang karut-marut oleh praktek-praktek curang dan menipu Sekali lagi, dengan banyak pengalaman yang dirasakan dan dipikirkannya selama ini papi ingin meninggalkan dunia hitam.. . . .!”

“Oh, mulia sekali. Penampilan tetap preman pasar, namun perilakunya telah berubah menjadi malaikat. . . . . .!” Arjo melirik kepada Bro Haji yang tersenyum tipis sulit diduga apa maksudnya.

“Nah, apa jawabanmu Jon Bongsor? Kulihat tidak ada ketegasan dari kaa-katamu. Jangan-jangan kamu sudah punya perjanjian dengan orang lain soal pekerjaan dengan gaji danjanji yang jauh lebih besar daripada yang kami tawarkan?” seru Haji Lolong dengan suara agak dikeraskan. Mungkin setengah menggertak.

Was-was juga hati kecil Arjo melihat ancaman yang tiba-tiba dirasakannya dalam nada suara itu. Lelaki itu berpikir keras. Meski wajahnya tersenyum, pikirannya kalut. Apakah ia akan memilih perjanjian yang diawali dengan makan malam begitu mewah, atau sebaliknya mengambil perjanjian  yang diawali dengan penyekapan dan penyiksaan? Bingung!

Arjo ingin berpikir beberapa detik saja sendiri. Dan seketika ia ingat nasib rokok yang ada di sakunya. Maka dengan isyarat tangan ia mengatakan akan ke toilet. Cepat ia keluar ruangan kaca itu sambil membayangkan mungkin dua tiga sedotan dari rokok kreteknya cukuplah.

Ketika ia berjalan di antara lalu-lalang pengunjung dan pelayan itu Arjo melihat selintas sosok Olleka dan seorang lelaki tambun entah siapa dari belakang. Hanya sepintas, namun otak Arjo cepat menduga-duga, Ada dua kemungkinan apa yang mereka pikirkan, pertama Arjo sudah mulai memasang perangkap untuk kepentingan mereka; dan kedua sebaliknya Arjo justru hendak mengkhianati mereka. Sambil berpikir Arjo memegang dompet di saku celananya dan membayangkan gepokan uang itu harus segera dikembalikan.

Arjo baru akan melangkah ke ruang khusus perokok ketika tiba-tiba timbul kehebohan dari arah dapur. Beberapa pelayan berlarian tunggang-langgang. Dan tak lama kemudian bunyi ledakan dahsyat disertai api yang membesar menghanguskan. Suara ledakan yang menakutkan dan api membesar serta asap tebal dari arah dapur di lantai pertama menyebabkan pengunjung panik. Teriakan histeris bercampur dengan caci-maki, langkah kaki dan meja-kursi yang terbanting dilanggar orang-orang menyelamakan diri. Api cepat menyebar dan membesar karena bahan kayu, rotan, dan bahan lain yang mudah terbakar. Kebakaran sangat cepat menyebar, dari lantai pertama hingga lantai ke tiga. Situasi berubah menjadi kacau-balau, hiruk-pikuk, lintang-pukang . . . . . (bersambung)

Kendal, 31 Mei 2016

Sumber gambar 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun