Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta yang Menua - Bab VI – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

31 Mei 2016   11:47 Diperbarui: 31 Mei 2016   16:45 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ya, duda. . . . .!” sahut Arjo.

“Nah, di sini rasanya tidak perlu satu-persatu pekerjaan diurai. Karena satu pekerjaan berkaitan dengan pekerjaan lain, saling timbal-balik dan terkait, serta tidak dapat diukur yang satu kurang penting daripada yang lain, semua penting dan harus diprioritaskan. . . .!”

Arjo sama sekali belum mengerti apa yang dimaksud Wasi. Ia bingung. Namun keinginannya untuk segera selesai karena niatnya untuk merokok melebihi pikiran sehat lain. Ia akan setuju begitu saja. Bersamaan dengan itu sambil melupakan perjanjiannya dengan Olleka si cewek tomboy, isteri dari Bang Ibram. Bang Ibram ini mantan suami Wasi.

“Uang sepuluh juta rupiah dari mereka harus segera kukembalikan.. . . . !” ujar batin Arjo. Itu bagian dari sekian milyar yang mereka janjikan. Tapi peristiwa buruk yang dialaminya itu mengajarinya sebuah kesadaran baru yaitu keinginan untuk berubah pikiran.

Lelaki jangkung itu memiliki keyakinan baru bahwa Wasi dan papinya Haji Lolong jauh lebih dapat dipercaya. Meski kini ia belum bernegosiasi soal harga dan biaya. Bahkan meski belum diceritakan jelas, urusannya lebih mudah dan sedehana. Bukan soal nyawa dan kematian,  Bukan soal rebutan warisan atau pembagian harta gono-girii dua orang suami-isteri.

“Mudah-mudahan Olleka tidak punya pikiran untuk membunuhku. Perempuan yang berpanampilan laki-laki itu bisa saja sangat sadis untuk mendapatkan kemauannya,” kembali pikiran Arjo yang sibuk berargumentasi sendiri.

“Apakah pekerjaan ini mampu menjamin hidup masa tua saya. Tanpa perlu saya jelaskan sebenarnya saya sudah mendapatkan tawaran lain yang bernilai beberapa milyar rupiah. Namun karena ada Wasi maka pikiran saya berubah. Tanpa penjelasan panjang saya mempercayai Wasi!” kata Arjo dalam hati seolah meluncur begitu saja. Tanpa sadar perasaan dalam hati kecilnya pun terungkap. Dan baru disadarinya kemudian dengan perasaan malu yang sulit disembunyikan.

“Jangan-jangan Abang jatuh cinta kepadaku, benarkah?” tanya Wasi spontan, dengan nada bercanda.

Haji Lolong menanggapi ucapan itu dengan tersenyum. Ia tidak membayangkan lelaki yang bahkan lebih tua dari dirinya itu bakal menjadi mantu. Namun nasib dan perjodohan memang tidak mudah diramal-ramal. Seperti juga kelahiran dan kematian, soal jodoh merupakan salah satu rahasia Ilahi. 

“Hahaha. . . .  Neng terlalu berterus-terang. Tapi mungkin saja benar. . . . .!” jawab Arjo dengan lagak bercanda. Padahal di dalam hati kecilnya harapan untuk dekat dan kemudian meningkat menjadi hubungan yang lebih serius bukan tidak ada. Meski tua fisik dan hasrat Arjo sebagai lelaki tetaplah normal. Kalau saja ia memiliki banyak keleluasaan, misalnya secara ekonomi, tentu tak sulit baginya untuk memenuhi tantangan apapun agar niatnya dapat terpenuhi.

“Kembali ke pokok soal, apakah Bang Arjo menerima tawaran kami ini? Soal pengahsilan per bulan dibicarakan nanti, termasuk juga soal bagi hasil, dan bahkan juga berbagai fasilitas lain yang menyertai. Satu hal yang penting, papi ingin sedikit demi sedikit meninggalkan dunia premanisme. Papi bahkan ingin menjadi seorang anggota dewan. . . . .” sambung Wasi kemudian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun