Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta yang Menua - Bab VI – Dua (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

22 Mei 2016   23:14 Diperbarui: 22 Mei 2016   23:23 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Restoran Daun Bambu, chinese food halal. Di jalan Pangeran Alap-alap ya. Kamu sudah pernah kemari? Dari simpang enam lurus, langsung belok kanan sebelah kiri, restoran tiga lantai yang selalu penuh pengunjung. Papi tunggu ya, jangan pakai lama apalagi macet. . . . .!” ujar Haji Lolong di ujung sana, dan segera mematikan ponselnya.

Wasi bergegas ke pakiran mobil di lantai lima. Dan seperti setiap kali, waktu begitu cepat berlalu. Siapapun seperti dikejar sesuatu, dan pada saat yang sama mengejar sesuatu. Ya, sesuatu itu sendiri sering tak jelas esensinya. Jika terpikir hal pelik seperti itu seringkali Wasi harus berhenti sejenak untuk merenung,  memejamkan mata, dan berdzikir. Maminya yang asli Sumatra Barat sejak kecil mengajarinya kepasrahan seorang hamba di depan  Sang Khalik. Tiap detik tiap menit segenap mahluk selalu berdzikir dan bertasbih memuji kemahakuasaan Tuhan,  kenapa manusia yang diberi kesempurnaan akal justru mengabaikannya. Pada saat-saat seperti itu sering tanpa terasa butiran air hangat meluncur deras dari kelopak matanya.

“Salah satu kelemahan manusia yaitu tidak mampu menundukkan sifat sombong dan riya’. Sifat arogan dan tinggi hati serta sombong. Sombong yang menjadikan setan terjatuh ke lembah kesesatan, dan riya’ atau takabur yang menjadikan manusia merasa telah melakukan hal-hal yang baik sesuai tuntunan agama namun nilainya kosong karena hanya untuk ditunjukkan kepada manusia. . . . .” ucap seorang mubaligh dalam sebuah ceramah umum yang pernah didengar Wasi.

Masih diingat pula hal mendasar yang harus dimiliki setiap mahluk Tuhan, yaitu rasa ikhlas. Seorang ustadzah menjelaskan hal itu. Rasa ikhlas dalam menjalani hidup dan kehidupan harus dimiliki setiap orang. Cuma permasalahannya apa dan bagaimana mewujudkan rasa ikhlas itu? Bahkan Rasulullah ketika ditanya seorang sahabat suatu hari, tidak bisa langsung menjawab makna kata ikhlas. Nabi minta waktu untuk bertanya kepada Jibril. Namun yang ditanyapun menyatakan tidak tahu, lalu minta waktu untuk bertanya langsung kepada Allah. Jawaban Allah: “Ikhlas menjadi salah satu rahasiaKu. . . . . .!”

Berbagai pikiran itu berkecamuk di benak Wasi saat ia mengemudikan mobilnya untuk menuju sebuah restoran yang ditunjukkan papinya. Lalu entah bagaimana ia teringat pda lelaki tua itu. ingat penampilan, gaya bicara, dan terlebih kemampuannya bercerita sedemikian menarik,  Diam-diam Wasi menaruh perhatian besar. Terlebih ketika ia membaui parfum yang persis sama dengan parfum yang biasa dipakai mantan suaminya. Ada terasa sesuatu menyentak dalam kenangannya. Dan itu membuatnya memperhatikan dengan lebih baik apa saja yang diucapkan lelaki itu. Dari boncengan sepeda onthel tua, di tengah keramaian dan kemacetan lalu-lintas kota metropolitan itu

Lalu didengarnya lelaki itu berucap : “Aku akan menikahimu kalau saja ada hal yang bisa menjadikanmu suka. Tapi sungguh aku tidak punya apa-apa. Tentu kecuali sekadar sepeda onthel tua, itu modalku untuk memperpanjang nafas sehari-hari dengan dua bungkus nasi, bekal makan siang dan malam hari. . . . . .!”

“Abang bicara dengan siapa? Dengan aku ya?” tanya Wasi dipenuhi rasa penasaran.

“Ohh, maaf terlalu keras abang mengucapkannya. . . . .! Merasa terganggu ya?” jawab Arjo dengan takzim.

“Ya, tapi itu bicara dengan siapa kulihat tidak sedang menelepon . . . . .!” Wasi mendesak.

“Abang sedang menghafal naskah drama. Waktu pentas sudah makin pendek!” jawab Arjo mencari-cari alasan.

“Kalau saja usia abang tak terpaut jauh dengan umurku kukira aku akan mempertimbangkan permintaanmu untuk menikahiku. . . . .!” ucap Wasi dalam hati seolah menjawab pertanyaan Arjo. “Apakah Abang mampu memutar waktu sehingga dapat kembali muda? Seperti dalam film-film fiksi ilmiah itu?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun