Tidak mudah menuliskan tentang sosok seseorang tanpa adanya kesan untuk memuji, namun memang seringkali kita bertemu dengan orang yang betul-betul harus kita puji. Bahkan untuk pertemuan yang sangat imajinatif, yaitu melalui tulisan. Itulah yang saya rasakan ketika tertantang untuk menuliskan mengenai sosok Pak Tjip. Warga Kompasiana pasti hafal dan sangat kenal siapa beliau. Hanya memang, saya sendiri yang tidak begitu kenal selain ya itu tadi. . . . . melalui tulisannya.
Ada waktu lima hari untuk menuliskan sesuatu tentang Pak Tjip terkait dengan ulang tahunnya yang ke 73 yang jatuh tepat hari ini, 21 Mei 2016. Hari ini hari terakhir, jelang tengah malam pada menit-menit terakhir coba saya tuliskan dengan cepat dan ringkas saja. Ini sesuai dengan apa yang tergambar di kepala saya, dari pengamatan sepintas dan pemikiran sederhana saya.
Oya, untuk menuliskan ini ada beberapa tulisan Kompasianer lain sudah saya intip, dan rata-rata mereka memang menuliskan tentang betapa kata ‘inspiratif dan memotivasi’ menjadi sedemikian akrab dan nyaman untuk disematkan pada dada seorang kakek beberapa cucu yang kini tinggal di benua Australia itu. Tulisan mereka sangat bagus, bernas, dan tentu saja sangat fenomenal untuk ikut meramaikan perayaan hari jadi Pak Tjip.
Lha, lalu apakah masih ada bahan yang cukup bagus untuk ditulis tentang beliau. Entahlah, tapi ini saya coba menulis aja. Dengan semangat ikut meramaikan, pastilah akan dimaafkan kalau isinya kurang –atau bahkan tidak- berbobot.
Banyak sekali tulisan Pak Tjip dipublish, hingga terus terang saya tidak selalu dapat mengikutinya. Kesulitan waktu membuka laptop, gangguan teknis internet, serta terutama juga kesibukan menulis untuk mengejar target minimal, yaitu menulis dua artikel dalam seminggu, sering menjadi kendala untuk rajin menengok tulisan orang lain.
Namun ada beberapa tulisan yang saya baca yang sungguh membuat saya memuji setinggi langit kejelian dan kepekaan Pak Tjip dalam menemukan topik yang sangat langka, sebagai berikut:
Sudah menjadi hal yang umum ketika para penulis di media sosial, citizen journalism, dan para penggiat internet yang lain membuat viral tentang keprihatinan. Prihatin ini dan itu, memprihatinkan kondisi buruk ini dan itu lengkap dengan gambarnya, ada ungkapan sedih dan seterusnya. Berpuluh, beratus, beribu, dan tentu akhirnya berjuta orang akan membaca dan kalau beruntung mereka akan tertular akan ikut prihatin. Cuma pertanyaannya: apakah dengan sejuta prihatin itu kondisi orang yang diprihatinkan berubah? Jelas tidak!
Maka sangat tepat ungkapan Pak Tjip : Seember air mata tidak akan membuat kenyang perut orangyang lapar. Hal Ini mestinya mengingatkan kita semua tidak perlulah terus membuat sebuah keprihatinan menjadi viral. Yang diperlukan adalah tindakan konrkit: membantu, titik. Apapun bentuknya, seberapa atau sekecil apapun. Jangan cuma berpidato, janji-janji. Kalau cuma janji, dalam kampanye semua kandidat kepala daerah atau anggota dewan juga penuh janji. Tapi apa realisasinya apa? Dalam bahasa Pak Tjip :
“. . . . . ada sebuah pertanyaan yang mengelitik, yakni selain dari berpidato dan menulis hebat hebat tentang kepedulian, keprihatinan dan rasa simpati yang begitu besar, terhadap nasib rakyat yang terpinggirkan, apa saja yang sudah mereka lakukan secara konkrit?”
Hal lain yang sangat keras dihindari oleh Pak Tjip yaitu prasangka buruk. Apapun yang ditulis seseorang dapat saja dikomenari buruk. Si penulis komentar kemungkinan sekadar bercanda, melucu, atau sebaliknya mau cari sensasi, karena kurang pengetahuan, ingin dianggap hebat, dan banyak alasan lain. Terlebih komentar dan tanggapan dari orang yang identitas nama maupun fotonya disamarkan.
Pada akhir tulisan berjudul ‘Untuk sepiring nasi. . . . .’ Pak Tjip menambahkan catatan:
“. . . . . tulisan ini bukan membangun pencitraan diri, bukan pula memoles atau membungkus diri dengan kisah kisah inspiratif dan motivasi. Melainkan semata mata untuk menjadi inspirasi,bahwa untuk terapkan hidup berbagi tidak perlu menunggu kaya. . . . ."
Seperti media sosial lain, Kompasiana tidak luput dari perang opini, perang komentar, dengan segenap implikasinya: saling menghujat, memfitnah, menghakimi, dan melecehkan. Banyak tulisan panas dan bombastis yang kemungkinan bertujuan untuk memancing pendapat, tetapi bukan tidak mungkin untuk mengail di air keruh, atau sekedar mencari gara-gara. . . .
Pak Tjip tidak ingin link yang dibuatnya dikotori oleh debat dan perbedaan pendapat dengan saling menjelekkan dan menghujat, untuk kemudian saling membenci sambil tak jelas kemana arah juntrungannya. Maka ditulisnya kiat agar terhindar dari persoalan itu :
“Walaupun usia sudah 73 tahun ,namun tidak jarang hati ikut panas membaca artikel yang tebar kebencian. Merawat hati ,agar tidak terkontaminasi oleh kebencian, memang butuh perawatan khusus. Dan bersyukur dendam dan kebencian, tidak mampu menembus hati saya. . . ."
Akhirnya, nasehat paling jitu bagi orang-orang yang memasuki masa pensiun dan kondisi lain serupa itu yaitu dengan menulis. Dikatakannya, menulis dapat menghindarkan seseorang dari post power syndrom.
"Walaupun bukan pejabat namun saya pernah menjadi pengusaha selama lebih dari 20 tahun. Dimana saya sebagai direktur utama dan menjadi orang nomor satu dalam perusahaan kami. Dengan mempersiapkan diri sejak dini, maka saya dapat dengan melenggang meninggalkan kursi : "direktur utama” dan menjadikan diri sebagai seorang Penulis .Ternyata menulis tidak hanya terapi diri, tidak hanya mencegah lupa, tetapi sekaligus menjadikan hidup kita berarti."
Tulisan Pak Tjip: Insiratif dan Memotivasi
Menulis itu tidak mudah, tapi bagi Opa Tjip menulis ‘terasa’ bukan saja mudah tetapi juga rutin dan murah. Begitu barangkali pendapat orang melihat begitu produktif dan berbobot tiap tulisan yang dipostingnya di Kompasiana.
Meski belum pernah bertemu langsung, saya -dengan terlebih dahulu menyampaikan permintaan maaf- memberanikan diri untuk menilai sosok Pak Tjip dari tulisan-tulisannya yang khas, yaitu terus terang, langsung pada sasaran, dan bernilai guna dengan didasari pengalaman-pengamatan-tanggapan serta hasil dari perjalanan hidup hingga perjalanan spiritual yang panjang. Tulisan-tulisan itu inspiratif sekaligus memotivasi
Sederhana, Terus-terang
Pak Tjip, seperti sering ditulisnya sendiri, sudah terbiasa menulis dan membaca sejak muda. Maka menulis di Kompasiana terasa begitu sederhana. Padahal tentu saja menulis -sekaligus menjadi bahan tulisan- tidak sesederhana yang kita duga.
Kata mudah, rutin, murah kiranya merupakan ungkapan apresiatif atas kedermawanan Pak Tjip dalam berbagi, mengupas kisah, menitip tips, cerita instrospeksi, kesan perjalanan, mengungkap suka-duka rumah-tangga dan perjalanan usia lanjut, dan banyak lagi. Kata sederhana itu dmaknai sebagai sikap apa adanya, tidak ingin berpolemik, bersitegang pendapat, dan terlebih beradu klaim kebenaran.
Bukan hanya tulisannya, sosoknya pun penuh kisah tak terduga, yang sedikit demi sedikit diurainya dalam berbagai tulisan penuh semangat berbagi, ‘one day one article’ dan sangat mengedukasi. Dengan bahasa yang spontan, cair, langsung pada pokok masalah, dan selalu disertai dengan contoh kisah nyata yang dialami dan diketahui.
Sehat, Traveling
Kesehatan itu anugerah tak terhingga. Sehat karena pola dan gaya hidup, namun terutama sehat karena pengetahuan dan pengalaman sehari-hari yang komplit untuk menjauhi semua penyebab datangnya penyakit; penyakit lahir maupun bathin, fisik maupun mental. Intinya, kesehatan harus terus dijaga, dipelajari, dan dipraktekkan dalam setiap jenjang usia. Karena setiap periode umur, dan juga setiap periode waktu tertentu, tantangan untuk mempertahankan kesehatan selalu berbeda, tantangan selalu datang entah dari mana saja.
Dalam kaitan itu betapa panjang pengalaman Pak Tjip mengupas tentang kesehatan dalam tulisannya yang hampir mencapai dua ribu judul itu. Menikmati masa tua dengan banyak perjalanan –darat, laut dan udara- ke berbagai pelosok di tanah air serta banyak tempat lain di dunia, Pak Tjip yang selalu didampingi Bu Roselina, menunjukkan diri kait-mengait antara ‘sehat untuk traveling’ dan ‘traveling untuk sehat’. Dari tempatnya bermukim kini di Australia, tiba-tia Pak Tjip sudah di Eropa, lalu ke Amerika, dan kemudian ada di pelosok tanah air, sebelum kemudian kembali ke Australia. Ada saja urusannya, urusan keluarga, selain mungkin sekadar berwisata.
Harmonis, Humanis
Menjaga keseimbangan agar sebuah persahabatan harmonis tidak selalu kita sadari arti pentingnya. Begitu banyak aspek dan sisi kehidupan yang harus diperhatikan, dicermati, dan dipelajari agar seseorang –dengan latar belakang pekerjaan dan kehidupan sosial-ekonomi-budaya yang berbeda- memiliki kehidupan yang baik. Seringkali tanpa sadar kita membiarkan hal-hal itu menjadi tidak seimbang, tidak teratur, tidak terdeteksi, dan tidak bermanfaat.
Dengan begitu banyak tantangan maupun kendala untuk menjalani kehidupan yang bermanfaat maka sasaran pertama dan utama bagi tiap orang, termasuk juga keluarganya, yaitu menjaga keharmonisan. Harmonis dalam keluarga, di tengah masyarakat, di lingkungan pekerjaan, lingkungan agama, hingga ke lingkungan lebih besar yaitu dalam berbangsa dan bernegara.
Meski bukan berarti tiak pernah punya persolan pelik dan bahkan rumit, Pak Tjip mendasari setiap langkah dan pikirnya dengan menjaga keharmonisan yang merupakan ciri mendasar sifat manusia, dengan pendekatan seorang humanis maka setiap langkahnya dirasakan merupakan pengejawantahan sifat ketuhanan dari agama yang dianutnya.
Merawat, Berkaca
Kita sering menemukan ungkapan orang tentang betapa mudahnya membangun dan membuat sesuatu, memiliki sesuatu, dan meraih predikat sesuatu; namun soal merawatnya kita lemah. Itulah yang justru sejak muda sudah disadari oleh Pak Tjip tentang perlunya merawat kesehatan tubuh, ingatan, pergaulan, dan lainnya. Mengenai merawat kesehatan ini tentu dengan dukungan isteri tercintalah beliau tetap gagah hingga sekarang. Namun terkait dengan diri sendiri kemampuan untuk mengidentifikasi persoalan diri itu tidak lepas dari kegemaran dan kebiasaan untuk berkaca diri.
Betapa banyak hal-hal baik dan buruk di luar sana, dan tiap orang diberi keleluasaan untuk memilih: apa yang cocok, apa yang baik, apa yang perlu, apa yang prioritas, apa yang menyehatkan, apa yang lebih simpel-murah-sederhana dan banyak pilihan lain. Rajin berkaca diri kiranya terkait dengan banyaknya pilihan yang dikira baik dan berguna padahal terbukti kemudian ssering justru menyesatkan, alias salah. Dalam konsteks persahabatan, bisnis, kasus hukum, organisasi, rumah-tangga, nasionalisme, hubungan antara negera, nilai baik-buruk antar negara/bangsa, dan banyak lagi.
Penutup
Kompasiana telah menampilkan banyak sosok inspiratif yang dengan tulisan dan wawasannya bersedia berbagi. Dari banyak sosok fenomenal yang ada, yang datang dan pergi, tentu nama Pak Tjip ada diantaranya.
Hari ini tepat 73 tahun Opa Tjip menjadi sebuah peristiwa yang patut dicatat karena konsistensi, urgensi, dan gaya berkomunikasi beliau yang begitu menginpirasi. Lepas dari berbagai penghargaan dan prestasi yang pernah diraih dalam kapasitasnya sebagai penulis dan sosok yang ditulis, artikel ini hanya ingin membuat ungkapan kecil yang mudah-mudahan tidak berlebihan: Inspirator itu Pak Tjip!
Selamat ber-ultah ke 73 hari ini, Pak Tjiptadinata Effendi. Semoga hari-hari mendatang tetap sehat-sejahtera dan berbahagia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H