Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua - Bab VI – Satu

19 Mei 2016   17:15 Diperbarui: 5 Juni 2016   00:09 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
great wall of china (Sumber gambar : http://worldpainter.com/great-wall-of-china)

Saat jam makan tiba bapak dan dua orang anaknya itu pinda ke ruang makan. Di sana sudah ada mama Was dan dua orang anaknya –Erwan dan Erwin- menunggu. Hidangan lengkap sudah tersedia di meja makan putar.

Haji Lolong duduk di kepala meja. Iserinya di samping kanan. Lalu anak-anak dan cucu mengambil kusi lain. 

“Aku mengusulkan satu nama, Pa, kalau disetujui. . . . Namanya Arjo Kemplu, seorang tukang ojek sepeda onthel tapi kukira pengetahuan dan pengalamannya memadai kalau xekadar mengajari caaa berpidato, cara menggalang masa, menarik simpati, dan bersikap sebagai anggoa dewan. Menurut pengakuannya ia seorang damawan, penulis naskah, sekaligus juga artis sinetron . . . .!”  ujar Wasi menuturkan apa yang didengarnya ketika tukang ojek itu bercerita tentang dirinya sendiri.

“Kamu tahu berapa kira-kira umurnya?” tanya Haji Lolong.

“Mungkin lima tahun lebih tua dari papa. Entahlah persisnya berapa.. . . .!”

“Apakah ia seorang yang jujur?”

“Di negeri ini sejak lama nilai kejujuran sudah jatuh harga. Dianggap tidak penting, tidak perlu. Dan dinomor sekiankan untuk urusan apapun. Jadi kenapa harus bertanya soal kejujuran seseorang? Rasanya bila ketemu nanti papa bisa menilainya sendiri. . . . ..” jawab Wasi seraya mengambil piring lebar untuk dirinya, mengisinya dengan dua sendok nasi, lalu mulai memilih-milih masakan apa yang ingin disantapnya.

Haji Lolong tidak terlalu mendengarkan ucapan terakhir Wasi, sebab ia sudah sibuk sendiri dengan nasi dan kepiting rebus asam-manis di atas piringnya. Suara sendok-garpu yang beradu dengan piring  terdengar nyaring. Dan bersamaan dengan itu tiak ada yang bersuara. Semua makan dengan sangat menikmati, perlahan menyendokkan nasi untuk dimasukkan rongga mulut, pelan menggigit dan mengunyah sayur dan makanan lain, sampai lumat betul, baru ditelan dengan hati-hati.

Haji lolong mengajarkan, seperti yang didengarnya dai beberapa ustad yang diundangnya datang berceramah di depan para karyawan garmen yang dimilikinya, cara makan kita menggambarkan cara kita memperlakukan dunia. Dengan baik atau buruk. Dan semua itu akan kembali ke diri kita sendiri. (Bersambung)

Bandung, 19 Mei 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun