Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua - Bab VI – Satu

19 Mei 2016   17:15 Diperbarui: 5 Juni 2016   00:09 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
great wall of china (Sumber gambar : http://worldpainter.com/great-wall-of-china)

“Mungkin itu juga bisnis baru. Soal pengaruh dan modal untuk mendapatkan suara perkiraanku  tidak menjadi masalah. Tapi persiapan menjadi anggota dewan yang terhormat harus sangat matang agar tidak menjadi bahan tertawaan orang. . . . .!” ujar Haji Lolong sambil mencoba untuk meyakni apa yang dianggapnya benar.

Setelah puluhan tahun malang-melintang di dunia hitam perdagangan, dan kemudian lambat laun ingin berubah menjadi yang bersih Ia pernah ketemu dengan bebeapa anggota dewan yang bukan hanya bodoh tetapi juga mata duitan, suka jalan pintas untuk mencapai tujuan, dan sama sekali tidakmembela rakyat. Namanya saja wakil rakyat, tapi justru lebih banyak mewakili kepentingan sendiri dan partai politik yang mengusungnya. Ia tidak mau menjadi anggota dewan seperti itu. Tapi kalau kaitannya dengan bisnis yang digelutinya barangkali pendapat itu bisa berubah seratus delapan uluh derajat. . . . Haji lolong terkekeh sendiri.

“Niat papa menjadi anggota legeslatif itu demi rakyat atau demi bisnis?” tanya Wiyasa dengan nada tidak percaya.

“Ya, tergantung situasinya. Kalau menyentuh soal bisnis, pati soal bisnis yang diutamakan. Tapi kalau sama sekali idak berkaitan baru menonjolkan kepentingan rakyat. . .  .!” jawab Haji Lolong berdiplomatis. “Tidak mudah memisahkandu kepentingan itu bagi siapapun yang duduk pada jabaan legeslatif, eksekutif, bahkan yudikatif. Tetapi bagiku setidaknya aku tidak maaduitan, aku akan jujur dari tindakan nyolong uang orang lain terlebih uang negara. . . . .!”

Wasi mendengarkan lalu bertepuk tangan mendengarkan jawaban yang idealistik itu. ia tetawa senang sebab dalam keluarganya sudah diasakan suasana demokratis. Meski diluaran, terlebih pada masa mudanya dulu Haji Lolong dikenal sangat otoriter dan kejam, namun seiring perkembangan usia ia berusaha untuk berubah.

“Bagaimana pendapatmu, Wasi?” tanya Wiyasa mencari second opinion.

“Mementingkan bisnis pribadi itu kata lain dari tindakan nyolong, serangkaian dengan tindakan korupsi,  kolusi dan nepotisme. Tapi lumayanlah kalau tidak nyolong langsung. ‘Kan tidak setiap langkah berkaitan dengan bisnis. Jadi kalau diprosentasikan mungkin 60 berbanding empat puluh ya?”  jawab Wasi spontan.

“Jadi masih beda 20 persen sisi baiknya, ya. Jumlah itu pula berarti pengabdian papa untuk bangsa dan negara ini. . . .? Dan itu masih di atas kertas, masih teori, entah bagaimana nanti realisasinya” tambah Wiyasa menyimpulkan.

“Oke. Soal konsep bagaimana menjadi wakil rakyat yang baik nantilah diobrolin lagi. Nah sekarang soal latar belakang, soal motivasi, apa papa tidak cukup puas menggeluti dunia bisnis saja?  Mungkin masih ada cita-cita yang tidak mungkin teraih bila tidak berpredikat ‘yang mulia’ itu. . . ?”  tanya Wasi setelah beberapa saat diam.

“Rasanya jawabnya yang pas saat ini karena papa termotivasi oleh sepak-terjang seorang gubernur yang sangat dibenci namun sebenarnya sangat dibutuhkan saat ini. Sosok itu seolah bertarung sendirian atas nama etnis yang begitu besar dan banyak dan punya kemampuan ekonomi yang mumpuni namun selama ini selalu dibayang-bayangi stigma negatif dan kotor. . . . .!” ujar Haji Lolong dengan suara pelan namun mantap penuh peraya diri.

Wasi mengangguk-angguk, dan tidak mungkin berkata tidak. Papanya itu dikenal keras kepala, suka menerabas kebiasaan lain dan membuat hal-hal baru. Meski semula sangat dekat dengan dunia hitam dalam hal perdagangan. Lama-kelamaan timbul juga kesadaran baru. Dan itu yang belum banyak diketahui orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun