Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua - Bab VI – Satu

19 Mei 2016   17:15 Diperbarui: 5 Juni 2016   00:09 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
great wall of china (Sumber gambar : http://worldpainter.com/great-wall-of-china)

“Oke, siap. Tapi bahan tertulis tentang narasumber  sudah cukup lengkap ‘kan, Neng? Takutnya nanti justru tidak terbaca. . . .”

“Oh, jangan khawatir. Saya selalu punya waktu cukup sebelum persiapan on air. . . . .!” jawab Wasi dengan yakin.

Pengalaman terjadinya keterlambatan pada beberapa waktu lalu menjadi pelajaran pahit baginya. Sejak itu ia memilih mengerjakan beberapa pekerjaan lain disela-sela kesibukan bertemu narasumber, menjalani proses make up, membaca bahan-bahan lain dari perpustakaan, dan makan roti secukupnya supaya perut terisi sebelum on air.

Di perpustakaan itu Wasi sempat menelepon papanya. Ada satu urusan terkait dengan rencana papanya untuk mengembangkan bisnis. Tapi yang lebih mengagetkan Wasi ternyata papanya punya niat untuk menjadi anggota dewan. Selama ini ia menjadi pengurus salah satu parpol bernuansa Agama Islam.

Seminggu lalu pembicaraan Wasi dengan papanya. Ada juga seorang kakak laki-lakinya yang sudah lebih dahulu terjun ke dunia politik. Dua anak Wasi baru saja pulang dari rumah papa mereka, ya mantan suami Wasi langsung masuk ke kamar masing-masing. Pembicaran itu dilakukan di ruang keluarga yang besar dengan gambar-gambar kebesaran negeri Tiongkok, diantaranya dua foto tembok besar yang sangat monumental itu.  Seperti biasa suasana pembicaraan santai sambil melihat siaran berita televisi. Seharian itu sedang ramai diberitakan tentang perjalanan fiktif para anggota dewan yang merugikan negara hingga ratusan milyar rupiah.

“Negeri ini bakal betul-betul ambruk karena digerogoti para predator. Sebutan mereka saja yang mentereng, namun kelakuan pencoleng. . . .!” komentar Haji Lolong dengan mimik sebal.

“Mudah-mudahan segera ada perubahan. Rezim yang baru dengan segenap peangkat ke bawah harus sinergis untuk memberantas korupsi dan sebangsanya itu. Tidak cuma menjadi slogan dan omong-omong pemanis bibir. Harus segera dimulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan, baru kemudian meningkat lebih luas. . . . .!” ungkap Wiyasa –kakak Wasi- tak ingin berpanjang-lebar menuding tentang kebobrokan negeri yang sudah sangat parah ini.

“Tapi ngomong-ngomong kenapa papa tiba-tiba tertarik pada berita. Biasanya tidak mau mengomentari, biasanya alergi, berpendapat sedikit saja tidak mau. . . . .!” komentar Wasi sambil tersenyum meledek.

Haji Lolong mengatur nafas dan melihat dengan lebih cermat ke arah televisi layar datar yang sangat lebar itu. “Papa ingin menjajaki hal baru. Apakah kalian punya kenalan yang dapat dipercaya untuk mengajariku menjadi anggota dewan?”

“Mau jadi anggota dewan? Nggak salah tuh. . . .!” komentar Wiyasa keheranan. “Lagian mana ada orang yang mau mengajari. Mungkin orang akan berpikir, kenapa tidak diri sendiri yang jadi anggota dewan.. . . .!” ujar Wiyasa menyangsikan keberhasilan rancana papanya.

“Hal baru, Pa? Bukan bisnis baru?” tanya Wasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun