Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua - Bab V – Dua

4 Mei 2016   00:54 Diperbarui: 5 Mei 2016   11:16 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

pengeras suara masjid

Hujan belum juga reda ketika Arjo mengucapkan salam pada rekaat terakhir sholat Maghrib berjamaah di Masjid itu. Ia mengusapkan kedua telapak tangannya kewajah.  “Alhamdulillah!” ucapnya kemudian smbil menyalami jemaah di sebelah kanan dan kirinya. Lalu membaca mengucap shalawat, doa keselamatan dunia-akherat, doa kepada kedua orang tuanya, serta beberapa doa lain yang dihafalnya luar kepala.

Arjo berdzikir, dan diteruskan dengan sholat sunah ba’da maghrib. Kemudian dicarinya tempat di pojok untuk sekedar bertafakur. Kebiasaannya tidak segera meninggalkan masjid setelah rangkaian sholat fardu dan sholat sunah. Kadang diteruskan dengan tadarusan, tapi yang paling sering dilakukan sekadar bertafakur untuk mengukur dan menakar apa saja yang telah dilakukan, diucapkan, dan dialami sampai dengan ia terduduk di sudut masjid itu. Di masjidlah ia membiasakan diri untuk menganggapnya sebagai rumah.

Ia membaca nama masjid pada tulisan di papan pengumuman masjid. Masjid Al Furqon namanya. Menurut taksirannya masjid ini dapat menampung jemaah sholat hingga dua ratus orang pada lantai pertama. Sedangkan lantai ke dua dipergunakan untuk perkantoran dan sarana pendidikan keagamaan. 

Isteri pertama Arjo meninggal dunia pada usia perkawinan ke tujuh. Isteri kedua yang cantik bak bintang sinetron itu disambar orang. Keduanya tidak meninggalkan anak.

Sedangkan isteri ketiga, yang berbeda usia hampir dua puluh tahun dengan Arjo, akhirnya memilih sendiri saja karena merasa tidak ada kecocokan lagi. Terlebih juga karena beda status sosial-ekonomi dan agama. Isterinya dari keluarga saudagar kaya, dan tidak ada kata berkekurangan. Bahkan Arjo pun mampu mengikuti jejak mereka dengan menjadi pengusaha. Namun dalam hati kecilnya tak sanggup mengelak dari tuntutan untuk pindah kembali pada profesi lama yang tidak semata memikirkan untung-rugi, dan tidak perlu harus melakukan apa saja untuk mendapatkan keuntungan besar.

Sudah lama ia tidak dapat merasakan suasana sebuah rumah tinggal. Sejak ia pergi begitu saja. Menjauhi mereka, sekaligus meninggalkan rumah besar yang dibangunnya bersama isteri beserta kehidupan rumah-tangga belasan tahu lamanya.

“Cerai memang bukan pilihan terbaik. Namun dengan putusan inilah kita dapat saling berinstrospeksi bahwa ada proses dan kondisi yang salah yang mepertemukan kita sebagai suami-isteri.. . . . .!” ujar Retno Pertiwi, isteri Arjo ke tiga, dengan empat anak yang sudah duduk di bangka SMA dan perguruan tinggi.

“Apakah ada lelaki lain yang menjanjikanmu banyak hal yang lebih baik daripada kehidupan kita sekarang?” tanya Arjo mencoba untuk mempertahankan keutuhan rumah-tangga.

“Semoga tidak, dan sampai saat ini memang tidak. Empat orang anak darimu yang atas permintaanku harus kuasuh setelah ini sesuai kesanggupanku bukan pilihan gampang. Aku cuma menghendaki mereka menjadi seniman sepertimu, aku ingin mereka menjadi pengusaha. Jangan kamu cekoki mereka dengan hal-hal aneh seputar dunia seni dan budaya yang sama sekali tidak menjamin masa depan itu. . . . . .!”

Tidak ada pertengkaran, apalagi saling marah dan bermusuhan seperti kebanyakan proses perceraian lain. Tidak juga ada orang lain dari kedua belah keluarga yang mempengaruhi. Retno Pertiwi hanya kurang suka pada perilaku Arjo yang kurang berkonsentrasi dalam berniaga. Lelaki itu dinilainya lebih antusias menulis fiksi, menulis naskah drama, bahkan masih sering mengambil peran dalam sebuah pementasan teater meski hasilnya secara finansial nol besar.

Hal-hal itu bukan sekali dua mereka perbincangkan lalu terjadi tarik-menarik kepentingan dan perhatian. Selain tentu memang perbedaan mendasar, besar status sosial-ekonomi dan keperayaan. Arjo harus mengalah. Dua anak perempuan yaitu Rahyu dan Rahmi mengikuti keyakinannya. Sedangkan dua anak lelaki yaitu Daman dan Damin mengikuti keyakinan sang isteri.

Sejak itu, lima tahun lebih, Arjo berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Ia bisa tak pulang ke kontrakan sampai berhari-hari lamanya karena pergi ke luar kota, atau tinggal di rumah teman-temannya, Namun tak jarang dengan seizin pengurus ia menginap di masjid. Dan itu kenapa ia menganggap masjid sebagai rumah, di masjid manapun ia singgah.

Selalu ia bertanya kepada penjaga masjid aau merbot untuk memberinya pekerjaan apa yang bisa dilakukan: mengepel lantai, menyapu halaman, membersihkan kamar mandi dan tempat wudhu, atau membersihkan tempat sampah. Apa saja dilakukannya karena perasaan sebagai rumah sendiri. Tak jarang ia bahkan mengganti genteng bocor, memperbaiki jalur listrik dan speaker, dan terutama juga mengumandangkan adzan. Namun kali ini karena kelelahan dan hari sudah beranjak malam, ia tidak melakukan kebiasaannya.

Kini seorang perempuan lagi menarik perhatian dan minatnya. Sebagai lelaki normal tak salah bila segenap perangkap daya tarik coba dikeluarkannya. Dengan sekian mantan isteri, serta entah berapa banyak cewek lain yang sekedar terarik atau malah dipacarinya, maka Arjo tidak bisa dibilang lelaki kurang gaul.

”Kalau saja aku sepuluh tahun lebih muda. Kalau saja penampilan dan kondisi tubuhku masih segagah dulu. Maka tidak ada yang tidak mungkin untuk digapai. Untk diperjuangkan dengan sepenuh hati. Tapikini soalnya jadi lain. Belum lagi tantangan untuk menalukkan perempuan yang ditaksirnya semata untuk sebuah sandiwara dan rekayasa. . . . . . .!” gumam Arjo lirih seorang diri. Desis di bibirnya serupa lafal sebuah doa.

Pada kata rekayasa itu tiba-tiba Arjo ingat pada dompet. Refleks tangan kanannya meraba saku celana, dan. . . . .  raib. Tidak ada lagi dompet kulit kumal warna coklat tua dengan uang sembilan juta lebih di dalamnya. Seketika Arjo dilanda kegugupan, hingga gerak tubuh dan raut wajah sukar dikendalikan dari rasa kaget dan tidak peraya. Otaknya berputar cepat kira-kira dimana benda itu terjatuh, atau mungkin justru ada si panjang tangan yang memanfaatkan kelengahannya.

Arjo berdiri dengan lesu, dan perlahan ia coba melacak kembali semua gerakannya sebelum terduruk di shaf palng belakang. Ia maju untuk melihat ke tempat ia duduk pada sholat fardu berjamaah tadi. Dan. . . . . alhamdulillah, Arjo mengucap puji syukur. Di dekat ransel seorang jamaah yang masih khusuk berdzikir benda itu tergolek dengan  tenangnya. Agaknya dompet itu keluar sendiri saat terdesak dalam posisi sujud lalu duduk. Diambilnya dompet itu dengan rasa lega yang luar biasa.

Tiba-tiba ia ingat utang pada Tante Martje si pemilik rumah kost. Utang satu setengah juta mestinya dapat segera dibayar. Arjo membayangkan jika utang itu dibayarkan pasti begitu uang di tangan, Tante Martje akan menyodorkan pipinya sebuah cepika-cepiki. Namun Arjo selalu mengelak, dan tidak ada niat sama sekali melakukannya.  Ia membayangkan betapa hancur hati Bang Robby bila pada saat yang sama sedang mengintip ke luar jendela dan memergoki peristiwa itu.

Sepintasan Arjo juga ingat pada utang janji dengan adiknya, Sarni. Janji untuk membelikan untuk Sairun -suami adiknya itu- sebuah sepeda motor tua. Mungkin tiga atau empat juta rupiah sudah didapat motor tua. Yang penting kuat dan bandel, tidak gampang rusak. Bisa dipakai untuk mengangkut rumput dari aas bukit sana. Juga untuk mengangkut domba beberapa ekor sekaligus, dari rumah ke padang penggembalaan atau ke pasar. Dibayangkannya betapa akan sangat senang Sarni mengetahui sekali ini kakaknya menjadi orang yang dapat dipercaya.

“Hanya seorang Kangmasku yang mampu membuat orang tidak bisa menebak ke arah mana yang dipikirkan. Kukira setahun atau atau tahun tak akan kembali rupanya dalam hitungan hari sudah memenuhi janji. . . . . .!” begitu mungkin komentar Sarni yang berkulit hitam-manis sambil menepuk-nepuk lengan kakaknya dan air mata berleleran.

Lalu kepada Sairun, suaminya, Sarni akan berujar: “Jangan lupa motor tua itu untuk beternak kambing supaya hasilnya lebih baik. Bukan malah untuk pergi berjudi banting kartu, atau untuk berselingkuh mendatangi janda nakal pinggir desa. . . . . !”

Arjo tersenyum sendiri pada rnangan narasi dan dialog yang mungkin ditulisnya bila mengharuskannya menuliskan kejadian itu untuk ceria fiksi. Sekali lagi ia mengelus kain luar saku celana yang berisi dompet dengan jutaan rupiah isi uang di dalamnya.

Arjo kembali terduduk di atas karpet panjang bergaris-garis, seukuran sajadah, yang bisa digulung. Ia mendapatkan sandaran di dekat tangga ke lantai dua. Dalam hati Arjo membatin, meski tidak terlalu besar masjid ini ditata artistik, khas masjid perkotaan.

Dengan tata lampu, pernak-pernik hiasan, kaligrafi, dan ragam hias lain. Lantai marmer ditutup karpet warga hijau lumut. Sedangkan sekeliling dinding terbuat dari kaca tebal dengan lukisan dekoratif sederhana. Adapun gantungan lampu-lampu dengan bohlam pijar pada banyak tempat menjadikan suasana terang-benderang namun sejuk. Terlebih dengan empat buah alat pendingin, ruangan yang menjadi sejuk. Pasti orang-orang menjadi sangat khusuk menjalankan sholat dan aneka bentuk ibadah lain ketika berada di dalam masjid.

Arjo melirik pada jam dinding di atas mimbar. Beberapa menit lagi adzan sholat Isya akan segera dikumandangkan. Ketika berdiri untuk berjalan ke arah tiba-tiba ponsel Arjo nyaring berdering. Terpaksa Arjo membalik langkah menuju ke teras masjid agar suaraanya tidak mengganggu jamaah lain.

“Árjo. . . . . !” suara geram dari seberang sana. “Jadi betul kamu hendak lari dari aku ya. Seharian ini kutelepon tapi alat komunikasi rongsokmu itu tidak berfungsi dengan baik. . . . .!”

“Siapa ini?” Arjo berpura bego, dengan nada dan warna suara dibuat berbeda sama sekali. Ia berpikir keras bagaimana cara mempermainkan lawan bicaranya, untuk menguji kematangan emosi, sekaligus memberi pembelajaran tentang arti waspada.

“Haji Lolong!” bentak suara di seberang sana seperti orang kalap. “Aku bisa berbuat apa saja untuk memaksamu melakukan apa yang aku mau. Kutunggu sampai tengah malam, kalau tidak datang ke depan Pasar Klengkeng rasakan akibatnya besok. . . !”

Arjo terkekeh sambil menjauhkan ponselnya dari telinga. “Namaku Bahtiar David. Baru saja kutemukan ponsel ini tergeletak di meja rumah makan. Jadi aku tidak tahu ada persoalan apa dengan pemilik ponsel ini.. . . .!”

“Jangan bohong. . . .! Kamu Arjo!”

“Bukan. Aku Bachtiar David. Coba lihat dengan teliti ke mari. . . . .!”

“Hahh?”

Orang di seberang sana belum sempat berkata sesuatu lagi, ponsel Arjo sudah dimatikan. Ia bisa bernafas lega untuk malam ini. Tinggal memikirkan bagaimana besok, dan hanya doa yang bisa dilakukan agar besok baik-baik saja. Namun tiba-tiba ia berpikir lagi, menyadari hal lain, kenapa harus menjadi pengecut? Bukankah itu berarti pula takut kepada mahluk?

(Bersambung)

Bandung, 3 Mei 2016

Cerita sebelumnya : bab-v-satu,   bab-iv-empat.  bab-iv-tiga

Sumber gambar : pengeras-suara-di-masjid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun