Hal-hal itu bukan sekali dua mereka perbincangkan lalu terjadi tarik-menarik kepentingan dan perhatian. Selain tentu memang perbedaan mendasar, besar status sosial-ekonomi dan keperayaan. Arjo harus mengalah. Dua anak perempuan yaitu Rahyu dan Rahmi mengikuti keyakinannya. Sedangkan dua anak lelaki yaitu Daman dan Damin mengikuti keyakinan sang isteri.
Sejak itu, lima tahun lebih, Arjo berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Ia bisa tak pulang ke kontrakan sampai berhari-hari lamanya karena pergi ke luar kota, atau tinggal di rumah teman-temannya, Namun tak jarang dengan seizin pengurus ia menginap di masjid. Dan itu kenapa ia menganggap masjid sebagai rumah, di masjid manapun ia singgah.
Selalu ia bertanya kepada penjaga masjid aau merbot untuk memberinya pekerjaan apa yang bisa dilakukan: mengepel lantai, menyapu halaman, membersihkan kamar mandi dan tempat wudhu, atau membersihkan tempat sampah. Apa saja dilakukannya karena perasaan sebagai rumah sendiri. Tak jarang ia bahkan mengganti genteng bocor, memperbaiki jalur listrik dan speaker, dan terutama juga mengumandangkan adzan. Namun kali ini karena kelelahan dan hari sudah beranjak malam, ia tidak melakukan kebiasaannya.
Kini seorang perempuan lagi menarik perhatian dan minatnya. Sebagai lelaki normal tak salah bila segenap perangkap daya tarik coba dikeluarkannya. Dengan sekian mantan isteri, serta entah berapa banyak cewek lain yang sekedar terarik atau malah dipacarinya, maka Arjo tidak bisa dibilang lelaki kurang gaul.
”Kalau saja aku sepuluh tahun lebih muda. Kalau saja penampilan dan kondisi tubuhku masih segagah dulu. Maka tidak ada yang tidak mungkin untuk digapai. Untk diperjuangkan dengan sepenuh hati. Tapikini soalnya jadi lain. Belum lagi tantangan untuk menalukkan perempuan yang ditaksirnya semata untuk sebuah sandiwara dan rekayasa. . . . . . .!” gumam Arjo lirih seorang diri. Desis di bibirnya serupa lafal sebuah doa.
Pada kata rekayasa itu tiba-tiba Arjo ingat pada dompet. Refleks tangan kanannya meraba saku celana, dan. . . . . raib. Tidak ada lagi dompet kulit kumal warna coklat tua dengan uang sembilan juta lebih di dalamnya. Seketika Arjo dilanda kegugupan, hingga gerak tubuh dan raut wajah sukar dikendalikan dari rasa kaget dan tidak peraya. Otaknya berputar cepat kira-kira dimana benda itu terjatuh, atau mungkin justru ada si panjang tangan yang memanfaatkan kelengahannya.
Arjo berdiri dengan lesu, dan perlahan ia coba melacak kembali semua gerakannya sebelum terduruk di shaf palng belakang. Ia maju untuk melihat ke tempat ia duduk pada sholat fardu berjamaah tadi. Dan. . . . . alhamdulillah, Arjo mengucap puji syukur. Di dekat ransel seorang jamaah yang masih khusuk berdzikir benda itu tergolek dengan tenangnya. Agaknya dompet itu keluar sendiri saat terdesak dalam posisi sujud lalu duduk. Diambilnya dompet itu dengan rasa lega yang luar biasa.
Tiba-tiba ia ingat utang pada Tante Martje si pemilik rumah kost. Utang satu setengah juta mestinya dapat segera dibayar. Arjo membayangkan jika utang itu dibayarkan pasti begitu uang di tangan, Tante Martje akan menyodorkan pipinya sebuah cepika-cepiki. Namun Arjo selalu mengelak, dan tidak ada niat sama sekali melakukannya. Ia membayangkan betapa hancur hati Bang Robby bila pada saat yang sama sedang mengintip ke luar jendela dan memergoki peristiwa itu.
Sepintasan Arjo juga ingat pada utang janji dengan adiknya, Sarni. Janji untuk membelikan untuk Sairun -suami adiknya itu- sebuah sepeda motor tua. Mungkin tiga atau empat juta rupiah sudah didapat motor tua. Yang penting kuat dan bandel, tidak gampang rusak. Bisa dipakai untuk mengangkut rumput dari aas bukit sana. Juga untuk mengangkut domba beberapa ekor sekaligus, dari rumah ke padang penggembalaan atau ke pasar. Dibayangkannya betapa akan sangat senang Sarni mengetahui sekali ini kakaknya menjadi orang yang dapat dipercaya.
“Hanya seorang Kangmasku yang mampu membuat orang tidak bisa menebak ke arah mana yang dipikirkan. Kukira setahun atau atau tahun tak akan kembali rupanya dalam hitungan hari sudah memenuhi janji. . . . . .!” begitu mungkin komentar Sarni yang berkulit hitam-manis sambil menepuk-nepuk lengan kakaknya dan air mata berleleran.
Lalu kepada Sairun, suaminya, Sarni akan berujar: “Jangan lupa motor tua itu untuk beternak kambing supaya hasilnya lebih baik. Bukan malah untuk pergi berjudi banting kartu, atau untuk berselingkuh mendatangi janda nakal pinggir desa. . . . . !”