Penyesalan  yang jauh ke masa lampau tentu terhadap kelakuanku untuk menerabas ketidaksukaan ibu. Kala masih mahasiswa aku memacari seorang gadis yang berbeda etnis dan agama. Banyak cara ibu mengingatkan namun aku tak mempedulikan. Hingga setelah diwisuda aku mendapatkan pekerjaan dan ditempatkan jauh di luar Pulau Jawa.
Ibu sangat senang karena itu berarti aku harus meninggalkan pacarku. Ibu bahkan meninggal dua hari setelah pulang dari ke Bandara Juanda Surabaya untuk mengantarku menggunakan pesawat terbang jauh ke utara.
Itulah yang tak ingin kuceritakan kepada siapapun. Karena semua itu  tentang betapa mata ini jadi sedemikian mudah meneteskan butir-butir air kesedihan. Hantaman rasa penyesalan, menjadi rasa perih seumpama hati yang teriris-iris.
Maka biarlah kini aku terisak mengenang jejak, tersedu dalam sholat fardu, bahkan tersedan pagi dan petang. Biarlah aku menangisi semua kekalahan ini sampai bila nanti jatah umur itu sudah kupenuhi. . . . !
Kekasihku, Diary
Membuka aib diri tidak dibenarkan dalam agama. Ungkapan arif: apa saja yang sudah ditutupi gelapnya malam jangan lagi disebarluaskan, perlu  terus dimaknai kembali. Oleh karena itu biarlah catatan ini kusimpan rapat dalam lipatan-lipatan kertas kumalmu, My Diary. Sembunyikanlah kisah ini sampai waktu yang tak mungkin kelak kukenali lagi.
Terima kasih, Sahabat, engkau begitu setia mendengarkan ihwal kerapuhan ini. Â Dari coretan sederhana ini kiranya ada hikmah dan petuah, bukan untuk siapapun kecuali diri sendiri. Tentu kecuali yang sudi dan ikhlas untuk menyimak desau angin berlari. . . . . !
Bandung, 13 April 2016
Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan artikel berjudul:
inilah-perhelatan-festival-fiksi-my-diary-di-kompasiana
Dan silakan bergabung dengan group FB. Fiksiana.Community/