Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(My Diary) Berawal dari Sikap Cari Gampang

13 April 2016   23:43 Diperbarui: 14 April 2016   00:29 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="event my diary"][/caption]

Kawanku, Diary

Hari ini terasa berbeda, sangat berbeda dibandingkan hari-hari lain. Tapi aku takut membicarakannya dengan siapapun kecuali dengan kamu. Ini mungkin sekedar perasaan haru, atau semacam kecengengan yang bermuara pada hati yang lemah. Maka rahasiakan ini sampai nanti jatah usiaku terpenuhi.

Tidak mungkin kuceritakan detilnya bagaimana, tapi terasa masa tua ini begitu berat membebani hati dan pikiran. Mungkin inilah akibat nyata dari masa laluku yang enggan berpikir berat. Semua dibikin enteng, dibiarkan mengalir seperti aliran air sungai, tidak secara teliti dan hati-hati dihitung-ditimbang dan dipikir matang. Semua dibikin enak, yang penting senang dan menang, meski kemudian ternyata itu semua semu.

Kalau sudah begini jadi teringat nasehat para tetua dan alim-ulama: tidak ada sesuatu pun di dunia ini kecuali mengikuti hukum sebab-akibat. Dalam bahasa agama disebut sunatullah. Perbuatan burukmu kepada siapa dan apapun akan kembali padamu, demikian sebaliknya. Padahal begitu banyak rangkaian kebusukan telah kulakukan, sebanyak pasir di pesisir, sebesar gunung-gunung, seluas bentangan laut dan langit. Tak terbayangkan betapa semua itu pernah kulakukan.

Maka bila hari ini aku merasakan deraan yang pahit, tak ada rasa lain kecuali penyesalan mendalam, juga keprihatinan yang tak tertahan-tahan. . . .

Temanku, Diary

Aku gampang sekali menitikkan air mata apapun alasannya. Bahkan siang tadi, ketika sedang menjemur pakaian cucu keduaku. Bayi enam bulan itu selalu kugendong dari pagi hingga malam disela kegiatanku menulis, ke mesjid untuk sholat berjamaah, berjalan kaki keliling kompleks,  makan-minum serta mencuci pakaian.

Kuajak ia bermain dan ngobrol seperti kepada bocah yang sudah fasih berbahasa. Anehnya ia pun khusuk mendengarkan, sambil sesekali menggerak-gerakkan bibir seperti hendak berkata sesuatu, atau sekadar tersenyum serupa menanggapi obrolan yang lucu. Betapa aku merasa kehilangan dan membayangkan pakaian bayi itu sedang dikenakan cucuku yang lucu-imut dan  murah senyum. Aku tergugu.

Anak perempuanku, mantu, dan cucuku harus berpindah setelah sekian lama rumah mereka selesai direnovasi. Kedekatan dengan cucu itu –melebihi dengan siapapun sebelumnya- yang membuatku merasa sangat kehilangan.

Karibku, Diary

Penyesalan  yang jauh ke masa lampau tentu terhadap kelakuanku untuk menerabas ketidaksukaan ibu. Kala masih mahasiswa aku memacari seorang gadis yang berbeda etnis dan agama. Banyak cara ibu mengingatkan namun aku tak mempedulikan. Hingga setelah diwisuda aku mendapatkan pekerjaan dan ditempatkan jauh di luar Pulau Jawa.

Ibu sangat senang karena itu berarti aku harus meninggalkan pacarku. Ibu bahkan meninggal dua hari setelah pulang dari ke Bandara Juanda Surabaya untuk mengantarku menggunakan pesawat terbang jauh ke utara.

Itulah yang tak ingin kuceritakan kepada siapapun. Karena semua itu  tentang betapa mata ini jadi sedemikian mudah meneteskan butir-butir air kesedihan. Hantaman rasa penyesalan, menjadi rasa perih seumpama hati yang teriris-iris.

Maka biarlah kini aku terisak mengenang jejak, tersedu dalam sholat fardu, bahkan tersedan pagi dan petang. Biarlah aku menangisi semua kekalahan ini sampai bila nanti jatah umur itu sudah kupenuhi. . . . !

Kekasihku, Diary

Membuka aib diri tidak dibenarkan dalam agama. Ungkapan arif: apa saja yang sudah ditutupi gelapnya malam jangan lagi disebarluaskan, perlu  terus dimaknai kembali. Oleh karena itu biarlah catatan ini kusimpan rapat dalam lipatan-lipatan kertas kumalmu, My Diary. Sembunyikanlah kisah ini sampai waktu yang tak mungkin kelak kukenali lagi.

Terima kasih, Sahabat, engkau begitu setia mendengarkan ihwal kerapuhan ini.  Dari coretan sederhana ini kiranya ada hikmah dan petuah, bukan untuk siapapun kecuali diri sendiri. Tentu kecuali yang sudi dan ikhlas untuk menyimak desau angin berlari. . . . . !

Bandung, 13 April 2016

Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan artikel berjudul:

inilah-perhelatan-festival-fiksi-my-diary-di-kompasiana

Dan silakan bergabung dengan group FB. Fiksiana.Community/

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun