Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua # Bab II

5 April 2016   02:39 Diperbarui: 5 April 2016   08:26 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Aamiinnn. . . .! Terimakasih, Kang. ” sambut Sarni bersemangat. Wajah polos itu mengingatkan Arjo pada Simboknya yang selalu berpesan wanti-wanti. “Jadilah orang jujur meski hidup melarat. Jadinya orang bekerja keras dan disiplin meski hasilnya tak seberapa. Dan lebh dari itu hormati orang lain siapapun dia, tanpa harus melebih-lebihkan, agar kamu ganti dihormati orang-orang di sekelilingmu. . . . .!”

Diseretnya sepeda tua itu ke luar halaman rumah. Beberapa puluh meter ke depan ia mencengklak ke atas sepeda, dan mendudukkan pantatnya di sadel. Dengan sepeda yang tampak tak terurus itu ia memastikan perjalanan ke stasiun menjadi lebih cepat.

Tiga bulan sudah berlalu sejak ia membawa sepeda itu. Dan kini, jangankan mampu membeli sepeda motor tua, modal sepedanya pun sudah remuk diseruduk mobil orang yang baru belajar mengemudi. Sedih kalau harus dirasa-rasakan. Tidak terasa mata Arjo berkaca-kaca. Lalu kisah lain muncul. Dulu waktu banyak pekerjaan sebagai orang panggung tidak pernah terpikirkan untuk membantu kesulitan adik perempuannya itu. Kini saat keuangan payah baru terbuka pikiran. . . .

Arjo sampai di pinggir jalan raya. Lalu-lintas  dari dua arah. Ia harus hati-hati menyeberang. Di depan sana gang-demi gang sudah menunggunya. Semangatnya masih besar untuk terus berjalan, namun tenaga dan kondisi tubuh tuanya tidak memungkinkan. Hampir satu jam tadi ia berjalan, hingga keringat menetes di kening. Rongga mulut terasa kering dan pahit.

Arjo terduduk di bangku semen di kaki lima dekat perempatan jalan. Ketika sebuah bus kota lewat dan berhenti di halte Patung Sepatu. Arjo bersegera melompat ke dalamnya dengan kaki diseret. Ia sempat berbisik pada kondektur agar digratiskan sampai tujuan.

“Tapi jangan beraksi di sini, Bang!” balas kondektur dengan desis yang dikeraskan.

“Apa kamu bilang?”

“Jangan beraksi di sini”

“Oh, kukira janganmenangis di sini! Bagaimana kamu tahu aku seorang pemain teater? Kala muda beberapa kali aku berteriak-teriak membaca sajak cinta di atas bus kota. Sekadar untuk melatih fisik dan mental. Tapi kalau ada yang menyodorkan receh ya kuterima. . . . .!” sahut Arjo dengan masih berbisik.

Angin berkesiur di sisi bus. Goncangan akibat jalan berlubang dan kondisi bus yang tua membuat aneka bunyi riuh berkelontangan. Bus penuh penumpang, berhenti di halte depan. Beberapa penumpang naik, berdesakan. Besamaan itu sejumlah penumpang lain turun. Pada kesempatan itulah para pencopet beraksi. Ya, itulah yang dimaksud Pak Kondektur ”jangan beraksi di sini. . . . .!”

Arjo tersenyum diam-diam. Beberapa halte terlewati, jaraknya sudah belasan kilo, arjo turun. Di depan halte di ujung Jalan Mangku Bagja yang bersebelahan dengan jalan Kelabang Hitam tempat pangkalan ojek sepeda onthel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun