[caption caption="rumah asriku"][/caption]
Dua
Tapi pasti tidak ada kata takut dalam kamus hidupnya. Semua itu merupakan kelanjutan dari kata nekat yang selama ini melekat kuat pada sifat dan pembawaan dirinya. Takut tidak takut, nekat atau tidak nekat, akibatnya toh akan sama: hidup harus dijalani dengan sepenuh hati! Tidak harus menyisakan rasa ragu, kelaupun kemudian terbukti langkah yang diambil kurang tepat bahkan salah. Pada sisi lain usia bukan hambatan. Justru makin tua niscaya semakin matang untuk urusan apapun dengan bermodal berani dan nekat itu. . . . .
Meski masih merasakan sakit pada beberapa bagian tubuh tubuh, Arjo Kemplu si gaek yang jangkung itu memaksakan diri untuk berangkat. Prinsipnya teguh, urusan apapun harus dihadapi dengan sikap jantan dan tangguh. Seperti juga pilihannya untuk menjadi tukang ojek, semata untuk satu tujuan yang belum pasti: mendekati cewek cantik.
Ia mandi sedukupnya, dengan sisa air yang ada. Membuang semua sisa keringat dan kotoran yang melekat di tubuh. Terutama juga membasahi rambut kelabu memanjang. Gosok gigi dengan beberapa diantaranya ompong, dan menyisakan gusi. Mencukur kumis dan jenggot yang mulai memanjang, agar kelihatan ketampanan wajah asli yang mulai memudar digerogoti kalender yang setia tanggal setiap hari. Ketampanan yang dibalut kegarangan.
“Umur tua sering menghadirkan kebosanan. Tapi tidak untuk yang mampu membuat hari-harinya selalu berbeda, dan hari ini hariku betul berbeda. Dengan tubuh sakit dan luka, serta tanpa sepeda, aku harus melanjutkan hariku dengan cara yang berbeda.. . . .!” gumam Arjo sambil mengeringkan tubuh dengan handuk warna biru muda yang mulai kusam dipudarkan sinar matahari.
Arjo tidak mungkin menggunakan sepeda onthelnya lagi. Barang itu sudah jadi rongsok, ditinggalkannya di tukang reparasi sepeda. Pasti bakal banyak ongkosnya kalau selesai, sebab banyak onderdil harus diganti. Membeli sepeda serupa pasti lebih gampang dan murah. Dengan uang dua atau tiga juta rupiah pasti sudah dapat. Tapi uangnya dari mana?