Kalau pada media arus utama dan media sosial sosok Jokowi paling laris menjadi bahan kritik dan pemikiran kritis, maka di Kompasiana tidak lagi yang cukup bertahan dengan peran itu. Pakdhe Gayus sudah betul-betul tiarap untuk mampu banyak cakap dan bersilat-ucap. Karenanya mesti waspada kalau-kalau ada orang silap dengan mengalihkan sasaran kegalauan hati kepada bapak dan ibu.
Â
Saat saya di sini menumpahkan kegalauan, ini bukan ada maksud jahat melainkan satu bentuk keterus-terangan saya yang memalukan karena keinginan hati ini mengikuti langkah dan sepak terjang Pak Tjip dan Bu Rose yang inspiratif itu. Keinginan yang terasa amat-sangat melambung.
Â
Pada hemat saya, Pak Tjip banyak memberikan pengalaman sendiri, baik pahit-getir maupun suka-gembira, masa susah dan senang, pergulatan dan jalan keluar pemecahan persoalan, masa jatuh dan bangun. Yang paling istimewa adalah pengalaman dalam bersinergi sebagai suami-isteri dalam rumah-tangga sehingga tetap utuh, saling setia, dan harmonis hingga lima puluh tahun dijalani.
Â
Keharmonisan itu dimanfaatkan untuk menyisipkan banyak kekaguman, kecintaan dan kebanggan atas negeri tercinta ini secara proporsional dan argumentatif. Nasionalisme dan optimisme itu dikampanyekannya untuk dimiliki dan dipupuk terus-menerus oleh setiap warga Negara. Nah diri sendiri ini bagaimana. . . ., sudah apa saja dilakukan untuk membuktikan kecintaan pada NKRI?
Â
Akhirul kalam,
Surat ini saya buat sebenarnyalah bukan untuk siapapun kecuali untuk diri sendiri. Sebab dalam pandangan agama penilaian segala sesuatu pada hakekaknya adalah milik Tuhan. Ketika kita menilai –baik/buruk atau penilaian lain- maka akan muncul pertanyaan seberapa kredibel kita, apa hak kita, siapakah kita.
Â