Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kepada Pak Tjip dan Bu Rose, Pasangan Harmonis yang Inspiratif

12 Oktober 2015   20:05 Diperbarui: 12 Oktober 2015   22:26 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Bopeng? Apakah Pak Tjip dan Bi Rose juga punya karakter untuk pamer kebaikan sambil menunjukkan identitas palsu yang mengecoh? Tentu jauh dari itu, semua gamblang dan terang-benderang soal identitas dan jati diri. Bahkan keterbukaan dengan aneka konsekuensi itu (dikagumi/dibenci, dikomentari/dicereweti, difitnah, sidalah-pahami, bahkan ancaman dibunuh seperti dalam artikel….”Hadapi bahaya jangan panik". menjadi artikel yang bernas sekali.

 

Karena bopeng pun -sekedil apapun- sudah dengan jujur tidak ditutup-tutupi, acara berbagi dan berkoneksi menjadi lebih mudah-mewah dan wah. Pada akhirnya hal itu menempatkan Pak Tjip dan Bu Rose sebagai obyek pujian. Pujian untuk aneka predikat yang telah disandang dan dicapai, yang kemudian dibukukan dan diabadikan dalam banyak artikel yang tayang di Kompasiana. Semua itu sangat layak, tepat, dan pas belaka.

 

Pak Tjip memang menggunakan banyak cara bertutur dan bercerita. Santai, sederhana, namun mengena. Dari mulai cerita diri dan isteri tercinta Bu Roselina Effendi, cerita sanak-saudara, hingga cerita orang lain yang dirasa menyimpan ilmu kehidupan. Lalu cerita perjalanan, kunjungan, pertemanan, sosial maupun lingkungan, bisnis hingga sikap dan perilaku keberagamaan/spiritualitas, serta kesalehan sosial, dalam aneka bentuk reportase. Kemudian ada pula opini dan fiksi. Menarik, menggelitik, dan selalu menggoda untuk dibaca….

 

Ilmu kehidupan, ilmu hidup, dan universitas kehidupan, demikian bapak berupaya membandingkan antara pelajaran di bangku sekolah/kuliah yang kadang justru bertolak belakang dengan praktek langsung sehari-hari. Pelajaran formal waktunya terbatas, ilmu hidup sepanjang hayat. Pelajaran teori berakhir pada ijazah dan gelar kesarjanaan, sedangkan ilmu kehidupan bermuara pada kearifan budi-pekerti dan keberagamaan.

 

Karenanya, sekali lagi, pujian itu layak datang bertubi-tubi, berduyun-duyun, dan melimpah-ruah bagaikan air bah. Maka dari sana muncul rasa kedekatan, keakraban, empati, simpati, bahkan menjadikannya guru/panutan/motivator/sesepuh dan sebutan lain yang meninggikan (secara langsung maupun tidak langsung) hakekat kemanusiaan kita

Komplit, tuntas, dan utuh, sehingga tidak ada celah untuk sedikit saja kritik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun