Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bermedia Sosial Rasa Koran, karena Kompasiana

29 September 2015   16:45 Diperbarui: 29 September 2015   16:45 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="bermedia sosial rasa koran"][/caption]

Sumber gambar: http://www.papillion-sanitation.com/news/list/

 

Hobi membaca koran rupanya terbawa-bawa ketika -karna tuntutan zaman- saya harus internetan, khususnya di facebook dan nge-blog Di Kompasiana. Meski sudah menahan diri untuk konsisten berperilaku jadul mengikuti kepatutan umur, akhirnya kalah juga oleh rongrongan rasa ingin tahu dan ingin menulis.

 

Maka jadilah saya sebagai salah satu warga di media sosial itu dengan cara dan gaya yang tak berubah –gaptek, formal, dan emoh dipaksa-paksa karena menggunakan personal computer (pc) hanya kapan mau saja-.

 

Gegar budaya, atau apa namanya itu, yang menjadikan saya sampai detik ini tidak habis pikir –alias bingung bin ora mudeng blas- kenapa banyak foto orang nyengir di facebook dan blog. Tambah bingung lagi, karena tampak sekali betapa rasa percaya diri si pemilik akun itu luar biasa besar.

 

Terkait dengan pernyataan hobi membaca koran pada alinea pertama di atas, lantas apa yang terasa kurang sreg dan mengganjal di hati ini? Setelah merenung dan menyimak kembali banyak tulisan sendiri maupun tulisan orang lain, saya dapatkan tiga hal penting, yaitu caption, copas, dan comment.

 

Caption

Foto diri yang mejeng dan narsis di fb menjadi hal yang sangat biasa. Tiap orang tampil beda, rajin tampil dengan latar-belakang tempat dan suasana berbeda, dan seterusnya. Banyak yang di tempat wisata, di luar/dalam negeri, di ruang publik, di restoran, dan entah lagi. Foto saja, kadang dengan ukuran medium, sering bahkan close up.

 

Saya yakin tidak ada orang yang merasa wajahnya –mohon maaf- jelek yang mau bersusah payah tampil penuh gaya, bermanis muka, bertata-rias dan berbusana lengkap sedemikian kalau bukan untuk memancing rasa suka, acungan jempol, dan komentar penuh sanjungan.

 

Namun bagi saya, ada perasaan kurang dan menimbulkan rasa was-was. Basa-basi apa yang harus saya tuliskan untuk berdamai dengan ketentuan umum sebuah persahabatan? Tidak ada! Tidak mungkin saya berterus-terang mengomentari hal-hal buruk pada wajah dan penampilan seseorang, sangat tidak mungkin…

 

Lalu di mana salahnya? Tidak ada yang salah sebenarnya, toh semua orang melakukan hal itu. Mejeng, narsis, selesai. Padahal sebenarnya ada hal lain yang menjadikan foto itu mampu lebih berbunyi-bermakna-bercerita. Ya, buatlah ‘caption, atau keterangan gambar’ di situ. Tulislah mengenai latar-peristiwa kenapa harus mejeng di situ, bisa juga ditambahi dengan suasana waktu itu, perasaan apa yang tumbuh saat itu, apanya yang menarik/unik/beda, dst. dll. Keterangan gambar semakin perlu terlebih jika ada beberapa foto yang di-posting pada waktu berbeda mirip serial, hanya beda gaya, beda lokasi/latar-belakang.

 

Jika kita gemar membuat caption, maka pada setiap akhir tahun akan kita dapati selain album foto juga aneka cerita-peristiwa yang menarik-penting-lengkap sebagai bagian dari pendokumentasian perjalanan hidup dan kehidupan kita masing-masing. Cakep nggak tuh?

 

Copas

Topik  yang dianggap sangat penting (lingkup daerah, nasional, dan internasional) menjadi menu utama setiap koran setiap hari, namun di sana tidak ada ‘copy paste alias copas’. Bahkan pada suratkabar yang bernaung pada grup perusahaan yang sama sekalipun. Kenapa? Ya, karena kepentingan dan kebutuhan setiap daerah berbeda, hal itu di sesuaikan dengan wilayah penyebaran koran tersebut.

 

Sebagai contoh koran dari grup Kompas, Jawa pos, atau Pikiran Rakyat edisi Bandung akan berbeda dengan edisi Cirebon atau Tasikmalaya. Menjadi tugas redaktur untuk menyusun berita (mungkin dengan sumber yang sama) sesuai kepentingan daerah masing-masing. Redaktur Koran edisi Bandung pasti mengupas lebih dalam soal korban terowongan Mina asal Bandung misalnya, sebaliknya redaktur edisi Cirebon kupasannya pun akan berbeda pula.

 

Jadi tiap koran itu tidak ada yang copy paste. Sayangnya di media sosial kegemaran menjadi agen penyebaran berita lain begitu besar, tanpa ada perasaan bersalah atau malu. Berita bohong dari sumber tidak jelas alias hoax yang secara berantai di-copas dan hal itu terasa sukar dibendung. Tiap hari/jam/menit ribuan bahkan jutaan copas terjadi, simpang-siur, tumpang-tindih, menjalar dan menyebar sampai jauh. Miris nggak sih?

 

Untuk tidak melakukan copas sama sekali memang sulit, namun jika tidak muncul kesadaran bahwa cara itu merupakan sikap cari gampang, cari cepat, cari murah, dan –mohon maaf lagi- cari pujian, niscaya tidak akan kita mengurangi atau malah  meninggalkannya. Pahadal dengan menulis sendiri (tentu dengan bahan-bahan yang ada, dari berbagai sumber) bakal tumbuh keterampilan/keahlian dan kebanggaan sediki demi sedikit. Pada tulisan kita itu dapat ditambahkan pengalaman sendiri, keluarga, teman, atau siapa saja yang nyambung.

 

Orisinalitas dan pertanggungjawaban pada hemat saya menjadi lebih tinggi. Karenanya saya sangat salut pada orang yang fb-an dan memiliki blog sendiri. Tulisan yang ditampilkan di sana –seberapa pun kualitasnya- pasti lebih bernilai kontekstual, aktual, dan kondisional dibandingkan sekedar copas….

 

Comment

Maunya setiap orang punya sahabat sebanyak mungkin, artinya makin banyak makin baik. Namun kita kadang lupa bahwa selain keberagaman maka tiap-tiap orang punya lingkup kecil/terbatas karena persamaan suku, agama, ras, adat, generasi (tua-muda), status sosial-ekonomi, jenjang pendidikan, hobi, dan banyak lagi..

 

Jadi alangkah baik kalau misalnya seseorang menulis mengenai agamanya, maka orang-orang seagamanya saja yang menilai dan berkomentar. Karena ada prinsip mendasar bahwa tiap-tiap agama adalah benar menurut penganutnya masing-masing. Beda pendapat karena perbedaan lingkup itu akan memunculkan penilaian dan komentar yang tidak proporsional, cenderung menyalahkan, bahkan kasar/sarkas, dan tidak bermutu. Itu berarti juga, kurang pantas bila seseorang mengomentari satu peristiwa yang melibatkan seseorang beragama tertentu dengan kacamata agama lain. Kecuali tentu bila dimaksudkan untuk mencari persamaan-persamaan mendasar, dan justru itu yang memperkuat kesadaran dalam kebersamaan.

 

Bila seseorang berbicara dengan bahasa daerahnya, itu berarti ia sedang berbagi dan berkomnukasi dengan rekan-rekan se-suku. Kecuali orang yang mau belajar bahasa daerah itu, orang lain dari suku berbeda kurang elok kalau ikut berkomentar, apalagi bernada sinis, atau menyampaikan sikap  lain yang tidak pantas.

 

Lebih-lanjut, komentar mestinya bukan sekedar basi-basi, sanjungan, atau humor dangkal. Perlu juga kritik, beda pendapat, dan yang terutama saling menasehati dan mengingatkan pada hal-hal penting dalam bermasyarakat, berkeluarga, beragama, berbangsa, bernegara, dan seterusnya. Memang koran punya mekanisme selektif dalam memuat tanggapan dan komentar pembaca, sedangkan media sosial relatif kurang/tidak ada.

 

Dengan batasan itu tidak ada yang tidak pantas ditulis/dikomentari pada media sosial, kecuali yang bermuatan pornografi, kebohongan, menghasut/menghina, menipu, mengancam, dan lain-lain serupa itu.

 

Penutup

Itu saja ganjalan dan rasa gatal di hati ini bila membandingkan koran dengan media sosial. Jangan khawatir saya tidak akan mengatakan kepada siapapun, biarlah rasa ini saya pendam sendiri di dalam sanubari. Sebab siapalah saya kok berani-beraninya menasehati? Ketahuilah, zaman sudah berlari begitu kencang meninggalkan siapa saja -yang gaptek seperti saya- jauh ketinggalan.

 

Namun bila ada yang sedikit peduli, saya ulangi tiga hal yang mungkin perlu dicermati : 1. Berilah ‘caption’ alias keterangan gambar secukupnya (tidak harus lengkap 5 W dan 1 H) saat memajang foto diri (foto lama, atau terbaru), supaya tidak membingungkan dan menggelikan orang lain dengan komentar nakal: narsis bingits sih loe? 2. Kurangi tingkat kerajinan dankesenangan kita dalam ber-copy paste, dan mulailah menulis sendiri (betapapun tidak atau kurang sempurna) dengan materi tulisan dari berbagai bahan ditambah pengalaman sendiri/teman/keluarga. 3. Biasakan membuat comment atau komentar yang cerdas dan lugas, memperkaya informasi, singkat-padat-jelas, tidak keluar konteks, dan tidak hanya berhaha-hihi bin basa-basi binti melucu tiada berarti…..

 

Itu saja yang saat ini menjadi catatan saya terkait dengan faslitas memposting tulisan di blog keroyokan Kompasiana. Saya tidak punya pengalaman hebat apapun yang dapat saya tuliskan di sini selain ide-ide kecil-sederhana yang mungkin berguna bagi orang lain.

 

Yak, sekian saja obrolan ini. Terimakasih jika suka  menyimaknya, semoga bukan sebuah kesia-siaan. Mohon maaf bila banyak salah-salah kata, semoga tidak menimbulkan salah paham, apalagi salah kaprah. Wassalam.

Bandung, 29 September 2015

---

Tulisan sebelumnya:

  1. karena-kompasiana-makin-sulit-saja-saya-mendapatkan-ide-menulis
  2. rangkaian-kata-gagah-tapi-salah-ihwal-iklan-partai-perindo
  3. merindukan-yogya-dari-berangkat-hingga-menunggu-puisi
  4. gayus-mempraktekan-ungkapan-luar-biasa-dan-biasa-di-luar
  5. keberhasilan-gayus-di-kompasiana-sebuah-ironi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun