Comment
Maunya setiap orang punya sahabat sebanyak mungkin, artinya makin banyak makin baik. Namun kita kadang lupa bahwa selain keberagaman maka tiap-tiap orang punya lingkup kecil/terbatas karena persamaan suku, agama, ras, adat, generasi (tua-muda), status sosial-ekonomi, jenjang pendidikan, hobi, dan banyak lagi..
Â
Jadi alangkah baik kalau misalnya seseorang menulis mengenai agamanya, maka orang-orang seagamanya saja yang menilai dan berkomentar. Karena ada prinsip mendasar bahwa tiap-tiap agama adalah benar menurut penganutnya masing-masing. Beda pendapat karena perbedaan lingkup itu akan memunculkan penilaian dan komentar yang tidak proporsional, cenderung menyalahkan, bahkan kasar/sarkas, dan tidak bermutu. Itu berarti juga, kurang pantas bila seseorang mengomentari satu peristiwa yang melibatkan seseorang beragama tertentu dengan kacamata agama lain. Kecuali tentu bila dimaksudkan untuk mencari persamaan-persamaan mendasar, dan justru itu yang memperkuat kesadaran dalam kebersamaan.
Â
Bila seseorang berbicara dengan bahasa daerahnya, itu berarti ia sedang berbagi dan berkomnukasi dengan rekan-rekan se-suku. Kecuali orang yang mau belajar bahasa daerah itu, orang lain dari suku berbeda kurang elok kalau ikut berkomentar, apalagi bernada sinis, atau menyampaikan sikap lain yang tidak pantas.
Â
Lebih-lanjut, komentar mestinya bukan sekedar basi-basi, sanjungan, atau humor dangkal. Perlu juga kritik, beda pendapat, dan yang terutama saling menasehati dan mengingatkan pada hal-hal penting dalam bermasyarakat, berkeluarga, beragama, berbangsa, bernegara, dan seterusnya. Memang koran punya mekanisme selektif dalam memuat tanggapan dan komentar pembaca, sedangkan media sosial relatif kurang/tidak ada.
Â
Dengan batasan itu tidak ada yang tidak pantas ditulis/dikomentari pada media sosial, kecuali yang bermuatan pornografi, kebohongan, menghasut/menghina, menipu, mengancam, dan lain-lain serupa itu.
Â