Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gayus Mempraktekan Ungkapan: Luar Biasa dan Biasa di Luar

23 September 2015   15:09 Diperbarui: 25 September 2015   14:31 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Lapas Sukamiskin Bandung | Sumber gambar: http://www.radarjakarta.com/kategori/berita-1149-lp-sukamiskin-jadi-lapas-khusus-koruptor.html"]
[/caption]Penjara Sukamiskin Bandung menjadi sorotan (lagi, atau lagi-lagi). Penjara tempat beristirahatnya para koruptor itu memang fenomenal. Sebab di sanalah para mantan bupati-walikota-kepala dinas-gubernur dan bahkan mantan menteri serta pimpinan lembaga tinggi saling berbagi pengetahuan/pengalaman dan berkomunikasi (seperti motto Kompasiana).

Tidak ada Ketua RT, Ketua RW, Lurah/Kepala Desa, atau Camat di situ. Kalaupun ada pasti akan sangat malu mereka karena nilai kasusnya cuma ece-ecek. alias kelas teri.

Nah, karena sudah berkumpul (kalau ibu-ibu pasti membuat arisan, atau mengadakan pengajian), maka para bapak itu akan kurang senang kalau harus mengekor tabiat para ibu. Mereka sepakat bersaing membuat rekor baru ‘siapa yang lebih/paling banyak diluar’. Bila rekor itu tercapai maka mereka boleh bertengger ‘di puncak gunung es’. . . . .

Puncak Gunung Es

Rekor itulah yang nyata hanya pada diri seorang GT. Bukan sekedar bisik-bisik tetangga, bukan cuma katanya-katanya, tapi lelaki itu rapi dan lengkap dalam foto diri mejeng alias narsis habis, dengan dua orang saksi di depannya yang tak mungkin mengelak.

Harian Kompas pada halaman 3 hari ini (23/9/2015) membuat judul: Kasus Gayus Hanya Puncak Gunung Es. Di kutub sana gunung es bebas berjalan-jalan kemana dia mau, tentu mengikuti arus air laut. Puncaknya kelihatan kecil saja di permukaan laut, tapi namanya juga gunung. Besar luar biasa yang yang ada di dasar lautan dan tidak kelihatan di permukaan, pastilah sebesar gunung.

Begitulah yang terjadi dengan soal narapidana yang ber-lenggangkangkung- di luar jeruji besi. Ini kali ke tiga Gayus memperlihatkan diri kelicinan, kepiawaian, dan kenekatan, untuk menunjukkan diri: tolol (kata Menkumham), cerdik (kata saya, dan entah siapa lagi), selain kata lain yang menunjukkan rasa kagum dan ‘kagum’ yaitu luar biasa narsis (tidak perlu mengutip kata-kata narsis Pakdhe Kartono karena ybs sudah menyatakan diri bukan Gayus), senang-bahagia (ekspresi wajah dan senyuman serta suasana restoran mendukung), dan entah apa lagi.

Cerdik, Siang-Malam

Penekanan kata ‘cerdik’, karena (siapa tahu) Gayus berniat baik yaitu ikut mengungkap kebobrokan kelembagaan maupun petugas LP Sukamiskin, dan banyak (mungkin semua) penjara lain di negeri ini. Ya, siapa tahu?

Dan juga siapa tahu lagi, jangan-jangan para koruptor kelas kakap di Lapas Sukamiskin itu tiap hari melakukan acara rutin bertajuk kegiatan siang-malam (bersaing dengan nama restoran padang pagi-sore). Siang di dalam (penjara, untuk didata, mengikuti aneka kegiatan sesama napi), lalu malam (di rumah sendiri, bertemu anak-ister dansaudrai, berbisnis, dan entah apa lainnya).

Yang pasti pada siang hari, para napi akan banyak melakukan kopdar (alias kopi darat, antar sel atau antar blok) dengan suasana yang dapat dibayangkan penuh keakraban, seiya-sekata, senasib-sepenanggungan, bahkan juga penuh rasa persaudaraan….

Persaudaraan, Bertobat

Penuh persaudaraankah? Coba telisik jawaban mereka ketika ditanyakan kenapa sampai terjeblos di situ: hanya sial (sebab banyak pejabat lain yang melakukan hal serupa dan nilai uangnya lebih besar ternyata tidak tersentuh hukum), hanya kesalahan administratif (semasa Orba hal-hal seperti itu lumrah dan tidak terjerat hukum), hanya dikorbankan, untuk untuk melindungi bos besar, dan banyak alasan yang lain. Intinya, mereka merasa hanya dikorbankan, merasa tidak bersalah, atau kalaupun salah yang tidak berat-berat amat…

Namanya juga berkilah, alias berkelit, dan juga bersilat lidah. Ya, biarkanlah itu penilaian mereka (dan mungkin saja di-iya-kan keluarga maupun keluarga besarnya). Tapi yang pasti di pengadilan ternyata silat lidah mereka terpatahkan, dan berujung vonis ‘bersalah’.

Namun untuk para lulusan pondok pesantren, tentu saja mondok kali ini betul-betul spesial untuk mengurangi tanggungan di dunia. Mungkin belum semua tindakan cuang dan culas selama ini terungkap. Padahal tentu di akherat nanti semua akan diungkap. Mereka mestinya merasa bersyukur masih diberi kesempatan bertobat dan masih diingatkan, sebelum nyawa dicabut.

Sukamiskin, Menjadi Miskin

Sedikit menyimpang, mengenai nama penjara Sukamiskin, memang mengandung sebuah ironi. Para penghuninya, dengan perilaku main gasak-injak-embat dan tilep itu pastilah bukan pribadi-pribadi yang ‘suka miskin’. Mereka mewah, menor, mencrang, dan pokoknya wah belaka selama ini, sampai kemudian mereka tanpa sadar harus mengeluh waduh….

Mereka pasti akan lebih nyaman di tempatkan di daerah lain yang bernama: Sukamandi (Subang), Sukamantri (Bandung Barat), Suka Senang (Ciamis), Padasuka (Kota Bandung), dan seterusnya. Bukan di Sukamiskin, apalagi di penjaranya….

Tapi dunia berputar demikian cepatnya. Kalau dulu semasa menjabat, sewaktu punya kekuasaan, ketika masih sangat dihormati sebagai panutan dan kepala ini-itu, mereka pastilah berlimpah-ruah dengan kata suka. Semua yang mereka suka akan terlaksana, semua yang suka mereka akan dibalas dengan tindakan yang membuat suka pula. Itu sebabnya ada ungkapan suka sama suka, namun sama sekali bukan Sukamiskin.  

Satu hal lagi, para alumni Sukamiskin adalah mereka yang haus akan ilmu-pengetahuan dan terutama pengalaman yang sangat berguna. Semua jenjang kesarjanaan sudah ditempuh, dan tinggal jenjang terakhir alias pamungkas yaitu belajar untuk menjadi miskin. Itulah memang yang paling ditakutkan, dan menjadi trauma selama ini: menjadi miskin.

Penutup

Belum afdol kalau belum menulis soal Gayus hari-hari ini. Disadari atau tidak, Gayus sudah memberi pembelajaran sangat bagus tentang makna tolol dan cerdik. Dengan kata lain, Gayus mampu dengan sangat mumpuni mempraktekan ungkapan pujian ‘luar biasa’, yang kemudian diplesetkannya menjadi ‘biasa di luar’.

Rasanya tidak perlu di-stop tulisan tentang Gayus dan bumbu-bumbu yang meyertainya, karena memang inilah salah satu esensi jurnalisme warga: semua boleh ngomong dan semua boleh beda pendapat, asalkan dijaga tidak menjadi saling hujat, saling sikut, dan apalagi tawuran. Apalagi karenanya harus berurusan dengan yang namanya kasus hukum….   

Maka inilah tulisan saya untuk sekedar meramaikan. Jika mungkin memberi prespektif yang berbeda, dan tentu untuk saling mengingatkan, mawas diri, dam instrospeksi. Jika tidak minimal untuk bacaan dikala senggang suatu ketika kelak: :Dulu pernah ada orang bernama Gayus, sungguh  luar biasa dia …!"

Bandung, 23 September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun