Persaudaraan, Bertobat
Penuh persaudaraankah? Coba telisik jawaban mereka ketika ditanyakan kenapa sampai terjeblos di situ: hanya sial (sebab banyak pejabat lain yang melakukan hal serupa dan nilai uangnya lebih besar ternyata tidak tersentuh hukum), hanya kesalahan administratif (semasa Orba hal-hal seperti itu lumrah dan tidak terjerat hukum), hanya dikorbankan, untuk untuk melindungi bos besar, dan banyak alasan yang lain. Intinya, mereka merasa hanya dikorbankan, merasa tidak bersalah, atau kalaupun salah yang tidak berat-berat amat…
Namanya juga berkilah, alias berkelit, dan juga bersilat lidah. Ya, biarkanlah itu penilaian mereka (dan mungkin saja di-iya-kan keluarga maupun keluarga besarnya). Tapi yang pasti di pengadilan ternyata silat lidah mereka terpatahkan, dan berujung vonis ‘bersalah’.
Namun untuk para lulusan pondok pesantren, tentu saja mondok kali ini betul-betul spesial untuk mengurangi tanggungan di dunia. Mungkin belum semua tindakan cuang dan culas selama ini terungkap. Padahal tentu di akherat nanti semua akan diungkap. Mereka mestinya merasa bersyukur masih diberi kesempatan bertobat dan masih diingatkan, sebelum nyawa dicabut.
Sukamiskin, Menjadi Miskin
Sedikit menyimpang, mengenai nama penjara Sukamiskin, memang mengandung sebuah ironi. Para penghuninya, dengan perilaku main gasak-injak-embat dan tilep itu pastilah bukan pribadi-pribadi yang ‘suka miskin’. Mereka mewah, menor, mencrang, dan pokoknya wah belaka selama ini, sampai kemudian mereka tanpa sadar harus mengeluh waduh….
Mereka pasti akan lebih nyaman di tempatkan di daerah lain yang bernama: Sukamandi (Subang), Sukamantri (Bandung Barat), Suka Senang (Ciamis), Padasuka (Kota Bandung), dan seterusnya. Bukan di Sukamiskin, apalagi di penjaranya….
Tapi dunia berputar demikian cepatnya. Kalau dulu semasa menjabat, sewaktu punya kekuasaan, ketika masih sangat dihormati sebagai panutan dan kepala ini-itu, mereka pastilah berlimpah-ruah dengan kata suka. Semua yang mereka suka akan terlaksana, semua yang suka mereka akan dibalas dengan tindakan yang membuat suka pula. Itu sebabnya ada ungkapan suka sama suka, namun sama sekali bukan Sukamiskin. Â
Satu hal lagi, para alumni Sukamiskin adalah mereka yang haus akan ilmu-pengetahuan dan terutama pengalaman yang sangat berguna. Semua jenjang kesarjanaan sudah ditempuh, dan tinggal jenjang terakhir alias pamungkas yaitu belajar untuk menjadi miskin. Itulah memang yang paling ditakutkan, dan menjadi trauma selama ini: menjadi miskin.
Penutup
Belum afdol kalau belum menulis soal Gayus hari-hari ini. Disadari atau tidak, Gayus sudah memberi pembelajaran sangat bagus tentang makna tolol dan cerdik. Dengan kata lain, Gayus mampu dengan sangat mumpuni mempraktekan ungkapan pujian ‘luar biasa’, yang kemudian diplesetkannya menjadi ‘biasa di luar’.