Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Merindukan Yogya, dari Berangkat Hingga Menunggu #Puisi

19 September 2015   10:38 Diperbarui: 19 September 2015   10:55 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sketsa tugu yogkarta"][/caption]

Sumber gambar: http://richo-docs.blogspot.co.id/2012/04/artwork-sketsa-tugu-yogyakarta.html

Berangkat dari Stasiun Tugu

di gerbong sebelas

kereta api ekonomi tak berkelas

aku terperangkap dalam bordes

berjejalan sulit bernafas

hidup terasa tak lagi utuh

mauku cepat melaju ke timur

menjemput bermacam harapan menjamur

dengan memendam tanya

aku yang meninggalkanmu

atau justru kamu

yang semena-mena menggebahku?

 

stasiun Tugu Yogya

jelang subuh, aku berangkat tergesa

dan tak berbalas salam

lukisan Merapi, ritmis ombak Parangtritis

dan babad panjang keraton

juga pentas seniman Malioboro

berkas lawas itu

alangkah merdu dalam kenangan purba

tak tersentuh

 

di gerbong sebelas

kubenamkan dalam catatan perjalanan

sekedar singgah dan berlalu

daratan Jawa, Sulawesi, Kalimantan

dan pulau-pulau entah

Indonesia yang ramah tapi rapuh

aku merindukanmu karenanya

hari ini atau kelak kembali, Yogya!

Bandung, Februari 2001-September 2015

----

Matahari Siang di Kota Tua

matahari polos

memantul liar di tembok dan pilar

kota beraroma dupa dan kenanga, Yogya

percik cahayanya bias

pada reruntuhan gapura

hijau-kuning warna jendela dan pintu:

kukira itu lorong waktu bersulur-sulur

masa lalu yang kabur

 

dulu perang-damai datang dan pergi

berabad usia dan kini

pada siang berdebu

bayangan kita memanjang utara-selatan

meraba-raba kenyataan semu

lalu leleh raga terbelah

waktu membatu

tak sanggup beranjak dari jebak kemarau

Bandung, Februari 2001-September 2015

----

Jangan Lagi Menangisi Yogya

jangan lagi menangisi Yogya

dengan kata-kata hampa

lihat saja lebih seksama

kini ia menjelma

serupa keranjang aneka serapah

tempat ngengat dan rayap

semut dan lebah

begitu akrab menyulap tiap jengkal tanah

 

maka segeralah mengungsi

selagi sempat

jangan pernah meratapi kenangan

meski alangkah sulit dimengerti

mereka tak lagi bertutur

dengan tari dan puisi

kawasan tua itu memilih bercengkerama

dengan anomali

 

jangan lagi menangisi Yogya

berangkatlah sebelum menjadi capung

lalat atau nyamuk

seperti semua kemustahilan yang menelikung

lihatlah riuh lalu-lintasnya, pasar, kaki-lima

keseharian yang kian terpapar

entah bila Yogya menata diri

merawat kearifan jejak di tanah tinggi

Bandung, Maret 2001-September 2015

---

Tulisan sebelumnya:

  1. http://www.kompasiana.com/sugiyantohadi/tiga-cerita-kematian-dari-yang-sederhana-hingga-tanah-hitam-puisi_55f115fad49273c131cf8199
  2. http://www.kompasiana.com/sugiyantohadi/karena-kompasiana-makin-sulit-saja-saya-mendapatkan-ide-menulis_55f79d177497733e05365b8d

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun