Sisa ucapannya hanya dapat didengar oleh telinganya sendiri. “Ah, andai saja seorang musuh itu dapat kutangkap dan kukuliti untuk kuambil isi kepalanya. Tak mungkin aku kembali jatuh ke penjara ini. Sudah begitu lama dirampoknya ingatanku, dan kekejaman itu menjadikanku tidak dikenali sebagai prajurit yang dulu –dulu sekali- sangat dihormati, dielu-elukan karena perjuangan gagah-berani, penuh pengabdian dan pengorbanan. Kini aku harus ikhlas kembali menjadi sekedar patung mati penghias desa terpencil ini!”
Bandung, 25 Mei – 2 Juli 2015
***
Sumber gambar : http://vva.org/blog/?p=562
***
Simak juga puisi/opini sebelumnya:
- Jangan Salah Memilih, Renungan Ramadhan
- Nasehat, saling Menasehat, dan Kelembutan Hati
- Jelang Lebaran, Cerita Tiga Bocah
- Dari Kenangan, Pulang, hingga Hutan Pinus
- Menyesali Kesia-siaan Masa Lalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H