Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Prajurit Tua yang Tersesat di Belantara Kota

2 Juli 2015   13:12 Diperbarui: 2 Juli 2015   13:19 2089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

1/

Berjalan tegap, berlari, mengendap, lalu bersembunyi dan sesekali mengintai. Itulah perjalanan seorang prajurit tua sejak kemarin, minggu lalu, bahkan bulan lalu. Kini bulan separuh menggantung di bibir cakrawala, tampak pucat dan gemetar. Setelah dilaluinya rimba yang dikelilingi perbukitan dan sungai berarus deras melingkar di sepanjang perbatasan, tidak ada tempat buruan lain kecuali sisi kota yang mulai padat dengan hunian dan pabrik. “Ah, akhirnya kutemukan juga kehidupan!”

 

Mata tua lelaki berperawakan kurus melengkung itu nanar oleh sesuatu yang berbeda, dan di dadanya ada harapan sepercik bahwa pengejarannya bakal segera usai, dan ia harus kembali pada keluarganya yang telah berbelas bulan ditelantarkan nun jauh di ujung pulau. “Tapi kemana saja para penghuni kota ini? Apakah mereka mengungsi, dan pergi dengan perahu-perahu kayu dalam jejalan tanpa menimbang keselamatan dan kepastian sampai ke seberang pulau harapan?”

 

2/

Hari beringsut menjelang subuh dan dingin angin berembus ringan seperti mengipasi tengkuk yang membuatnya sesekali menengok sambil memastikan tidak ada sesuatu yang bergerak diam-diam untuk melarikan diri atau baangkali hendak mencelakainya begitu ia terlena. “Alhamdulillah, hingga hari baru ini aku selamat. Tidak seorang musuh pun berani unjuk diri untuk menjadi sasaran empuk tembakanku. Namun aku jadi lupa peranku sebagai sang pembasmi, yang mestinya gagah-berani menumpas musuh yang telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan kami…..!”

 

Sejak semalam alur perjalanan dilaluinya dengan senyap mengendap, melangkah satu-dua hitungan, lalu kembali bertiarap kadang sampai tertidur. Topi baja itu masih disandangnya di punggung, juga senapan kayu panjang berisi sebutir peluru yang tersisa, selebihnya puluhan selongsong kosong gemerincing nyaring di saku celana manakala ia menggerakkan tubuh untuk beringsut. “Ah, tiba-tiba terasa perut ini begitu menggerus. Bekal makanan sudah habis, tinggal tetesan kopi pahit di verples yang tersangkut di pinggang yang sakit. Kalau saja ada buah-buahan di pohon yang dapat kupetik untuk penggajal perut, sekalipun mentah dan pahit….!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun