3/
Terus juga berjalan dan mengendap dan tiarap lalu kembali tegak untuk meluruskan anggota tubuh yang letih setelah belasan jam terus merangsek maju. Sesekali ia terlena pada sandaran tembok rapuh dengan dengkur lirih serta batuk yang tertahan. Matahari meninggi dengan malas, dan prajurit tua itu bergumam parau : “Seribu musuh tidak kutakut, namun rasa mengantuk ini mengancam sangat kejam. Seperti terhipnotis aku tertunduk dan lunglai, kukira aku harus menyerah pasrah dalam lelap walau sekejap…..!”
Dan prajurit tua itu kembali menapaki jalan makin menjauh ke tengah kota, pada belantara yang kian riuh dengan gedung-gedung angkuh, simpang-siur jalan tol bersusun-susun, juga keramaian lalu-lintas yang berdesakan dan berimpitan sedemikian sesak. Namun semua diam, berhenti, lengang, serupa mati. Orang-orang di jalanan dan di mall, juga di terminal dan stasiun itu tampak kaku, tetap di tempatnya entah sejak kapan. Semua diam, beku, kelu. Riuh saja suara yang tetap mengambang mengikuti kemana arah angin berembus. “Tak pernah kudapati kota yang bukan main pengecut menyambut kedatanganku. Adakah mereka ketakutan, atau ada sesuatu yang mereka sembunyikan dari penglihatanku? Tapi pasti ada satu diantara ribuan, bahkan puluhan ribu orang warga kota ini musuh besarku yang suntuk kucari-cari……!”
4/
Seharian prajurit tua itu menjelajah belantara kota dengan menanggung tanda tanya yang begitu berat di kepala, dengan pandangan berbinar karena keterkejutan serta kewaspadaan yang campur-aduk. Di matanya semua tetap diam, kaku, kelu. Hanya satu dua pasang mata yang berkedip sesekali, sesudahnya melotot diam, sukar ditebak apa maknanya. Hingga lelaki itu sampai ke pinggir kota, terus ke pinggir, lalu kembali ke rimba sambil menyesali kenapa seorang musuh pun tak juga didapatkannya hari itu. “Dasar sial, betul-betul bodoh! Hanya tinggal seorang saja musuhku, tapi kali ini pun lolos dari sergapanku. Ahya, mestinya aku berlatih lebih gigih lagi, dan mungkin perlu belajar taktik baru untuk penyergapan yang lebih mematikan……!”
5/
Di ujung desa terpencil, di sebalik bukit-bukit hijau jauh di sana, beberapa warga kampung dengan rasa penasaran meringkus si prajurit tua itu. Ada wajah-wajah geram terlihat, ada wajah bengis, dan lainnya wajah-wajah garang penuh kemasgulan. Si tua tidak berkutik dan tidak ingin berteriak sepatah katapun. Ia bahkan kehilangan kemampuan berbicara. Beberapa lelaki itu menggelandanganya ke sebuah bangunan batu berundak-undak tinggi di perempatan jalan desa, lalu ditempatkannya kembali si prajurit tua dengan sikap tegap, wajah beringas, dengan menyandang semua peralatan prajurit perang. Di sana kembali ia terpenjara, dipasung untuk waktu entah berapa lama!