Tidak sulit untuk menggali dan mengingat kembali apa yang kita anggap sebagai kesia-siaan, dan tentu tiap orang punya cerita yang berlain-lainan.
Â
Memperturutkan Kesenangan
Masa muda hampir pada semua hal selalu dilandasi dengan ukuran ‘memperturutkan kesenangan’. Asalkan senang dilakukan, tidak peduli untuk apa, bagaimana akibat/kerugiannya, siapa yang menyuruh, apa dasar pengetahuannya, dan seterusnya. Kata ‘tidak peduli’ selalu berdampingan dengan kata memperturutkan kesenangan itu.
Â
Saya masih ingat bagaimana menghabiskan jam demi jam untuk mengisi bulan suci Ramadhan. Satu yang saya sesali kini yaitu menggunakan dengan bermain catur. Masih sekolah lanjutan kala itu, ada beberapa teman yang yang hobi main catur dan saya tertulari. Tidak ada guru atau pemain yang lebih pandai yang mengajari. Jadinya ya main saja dengan dasar-dasar bermain ala kadarnya. Seru dan bersemangat. Itulah mengapa dari jelang tengah hari hingga hampir maghrib dilakoni. Sering sholat dhuhur dan ashar telat, jangan lagi sholat berjamaah di masjid.
Â
Sekedar senang, dan tidak tahu untuk apa. Sebab saya tidak pernah jadi pemain catur andal, tidak pula mendapatkan penghasilan dari bermain catur. Meluangkan waktu berlebihan untuk bermain catur kala itu disadari kemudian sebagai kesia-siaan.
Â
Pada waktu lain -pada periode usia yang berbeda- waktu pun habis untuk bermain sepakbola, memancing, bersepeda hingga jarak jauh, main karambol, mengisi tts, dansa-dansi, nonton acara televisi, memancing, dan entah apa lagi. Barang tentu bukan tidak ada sama sekali manfaatnya, namun waktu yang banyak terpakai untuk aneka kegiatan itu menghapus kesempatan untuk melakukan hal-hal lain yang bermanfaat: belajar, mengaji, kursus bahasa, latihan berenang, membantu pekerjaan orangtua, berorganisasi, dan banyak lagi hal positif lain. Bahkan yang terparah kesenangan menjadikan orang abai terhadap kewajiban maupun larangan dalam agama. Semuanya bermuara pada dorongan memperturutkan kesenangan!
Â