Karena negara akan memberikan sanksi pajak untuk wajib pajak yang tidak membayar pajak sesuai aturan berlaku, terlambat membayar pajak dan tidak melaporkan kegiatan usahannya.
Apa saja sanksi pajak?
Sanksi pajak di Indonesia ada dua yaitu: sanksi administrasi dan sanksi pidana ada di dalam UU No.28 Tahun 2017.
Sanksi administrasi seperti telat bayar dan telat lapor akan diberi sanksi wajib pajak karena melanggar aturan perpajakan yang berlaku, dan besarnya denda berbeda tergantung UU yang berlaku. Contoh nya telat melapor SPT Badan maka kena denda sebesar Rp. 1.000.000, SPT PPh Pasal 21 di denda sebesar Rp. 100.000 dan sebagainya.
Sanksi pajak disertai bunga yang sudah di tentukan oleh UU yang berlaku yaitu  atas sanksi bunga yang menjadi dasar UU HPP nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi perpajakan, revisi UU Cipta kerja No. 11 Tahun 2020, ada penambahan pada Pasal 13 yakni Pasal 13 ayat (3b).
Dasar sanksi deda sebagai berikut: Sanksi denda mengikuti suku bunga acuan BI, di tambah persentase denda sesuai dengan aturan UU Cipta kerja klaster perpajakan dibagi 12 bulan berlaku pada tanggal mulainya menghitungan sanksi.
Sanksi pidana bila terindikasi tindak pelanggaran meski ada unsur ketidak sengajaan, ataupun tindak kejahatan yang sengaja dalam pembayaran pajak. Sanksi pidana diberikan apabila pelanggaran atau kesalahan berat yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian bagi negara.
Sanksi pidana adalah langkah terakhir pemerintah untuk upaya penegakan kepatuhan membayar pajak. Ada bebrapa pelanggaran dan sanksi pidana di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Kurungan sedikitnya 3 bulan dan paling banyak 1 tahun dan denda paling sedikit satu kali dan paling banyak dua kali dari pajak terutang. Sanksi diberikan pada wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT namun isinya tidak benar sehingga dapat merugikan negara.
2. Pidana kurungan singkat 6 tahun dan denda dikit 2 kali dan paling tinggi 4 kali dari jumlah pajak terutang. Ini dikasih untuk beberapa pelanggaran, antara lain:
- Tidak mendaftarkan diri untuk membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau pengukuhan PKP bagi usaha.
- Menyalahgunakan tanpa hak NPWP/PKP
- Tidak melaporkan SPT atau melaporkan namun tidak lengkap
- Tidak mau dilakukan pemeriksaan
- Memberikan pembukuan, pencatatan, atau data yang dipalsukan
- Tidak menyelenggarakan pembukuan/pencatatan di Indonesia
- Tidak menyimpan transaksi yang di catat di buku,dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan/pencatatan
- Tidak menyetorkan pajak telah dipotong sehingga menimbulkan kerugian negara
3. Dua kali sanksi pidana paling sedikit 6 tahun dan denda paling rendah 2 kali dan paling tinggi 4 kali dari jumlah pajak terutang. Apabila wajib pajak melakukan kembali tindakan pidana perpajakan sebelum lewat satu tahun terhitung sejak selesainya masa pidana.
4. Sanksi pidana paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 6 tahun serta denda paling rendah 2 kali dan paling tinggi 6 kali jumlah pajak dalam faktur pajak/bupot/buset pajak. Sanksi ini diberikan untuk beberapa pelanggaran antara lain:
- Membuat atau menggunakan faktur pajak, bupot, buset pajak yang tidak berdasarkan data sebenarnya
- Membuat faktur pajak tetapi belum pengukuhan sebagai PKP
5. Pidana kurungan 1 tahun dan denda sebanyak Rp 25 juta, jika wajib pajak dengan sengaja memberikan keterangan palsu saat pemeriksaan pajak.
 6. Pidana kurungan selama 3 tahun atau denda sebanyak Rp 75 juta, jika wajib pajak dengan sengaja merusak acara penyelidikan atau pemeriksaan.
7. Pidana kurungan 1 tahun dengan denda sebanyak Rp 1 miliar, jika wajib pajak dengan sengaja merahasiakan saat proses penyelidikan atau pemeriksaan.
8. Pidana kurungan 10 bulan dan/atau denda sebanyak Rp 800 juta, jika wajib pajak dengan sengaja membocorkan data rahasia pada proses penyelidikan atau pemeriksaan.
9. Pidana kurungan 1 tahun dengan denda paling banyak Rp 500 juta, jika wajib pajak dengan sengaja tidak memberikan data atau informasi yang diminta pada saat proses pemeriksaan.
Mengapa ketidak patuh administrasi perpajakan
Faktor yang mempengaruhi kurangnya pelaporan SPT secara penuh, yaitu wajib pajak enggan lapor; wajib pajak tidak tahu cara melaporkan SPT; anggapan SPT sebagai dokumen yang rumit untuk diisi dengan benar; merasa tidak perlu lapor karena penghasilan sudah dipotong pajak; nominal pengenaan sanksi denda terlalu kecil; tempat tinggal yang jauh dari KPP atau KP2KP; dan malas melapor karena kurang merasakan manfaat pajak.
Niat atau intensi adalah kecenderungan atau wajib pajak untuk melakukan perilaku ketidakpatuhan pajak. Dalam mengukur variabel laten niat untuk berperilaku tidak patuh, responden akan dimintai pendapatnya tentang 2 pernyataan yang mewakili 2 variabel niat, yaitu: (1) kecenderungan dan (2) keputusan untuk tidak patuh terhadap ketentuan perpajakan Setiap pertanyaan diukur dengan skala likert 7 point yang dimulai dengan poin 1 menunjukkan sangat 16 Â tidak setuju sampai dengan poin 7 menunjukkan sangat setuju. Kuesioner ini menggunakan kuisioner yang digunakan oleh peneliti sebelumnya (Mustikasari, 2007)
Ketidakpatuhan pajak adalah ketidakpatuhan  wajib pajak  dalam memenuhi kewajiban perpajakan . Variabel laten ini diukur dengan menggunakan instrumen yang direplikasi dari penelitian Brown dan Mazur (2003) dan sesuai dengan definisi kepatuhan pajak IRS yang terdiri dari 3 variable: (1) kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance), (2) kepatuhan pembayaran (payment compliance), dan (3) kepatuhan pelaporan (reporting compliance). Indikator ketiga variabel kepatuhan mengacu definisi kepatuhan material pada KMK No. 235/KMK.03/2003 tentang kriteria Wajib Pajak Patuh dalam rangka pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Bagaiman menyelesaikan Ketidakpatuhan Administrasi Perpajakan
Untuk meningkatkan kepatuhan pajak, pemerintah sebelumnya telah mengadakan program tax amnesty dan program pengungapan suka rela, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak, yaitu :
Dengan cara memperbaiki pelayanan fiskus untuk memberikan kemudahan administrasi agar Wajib Pajak tidak malas dan mau membayar pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku. Perbaikan pelayanan pemungutan pajak perlu dilakukan untuk menghindari ketidak puasan masyarakat dalam praktik di lapangan.
Meningkatkan jumlah tenaga kerja pemeriksa yang berada di Direktorat Jenderal Pajak. Dengan kualitas hukum yang semakin baik diharapkan dapat menimbulkan efek jera terhadap masyarakat, sehingga menghasilkan penerimaan pajak yang berkelanjutan.
Memperluas Tax Awareness melalui kegiatan sosialisasi maupun edukasi perpajakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya membayar pajak.
Melakukan nilai-nilai Kementerian Keuangan untuk memperkuat moral dan integritas pegawai pajak untuk menjalankan tugasnya dengan profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H