Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merekam Jejak Toleransi

12 Februari 2017   16:43 Diperbarui: 12 Februari 2017   20:23 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari daerah ibu kota, nama-nama yang sempat saya kenal dan selanjutnya dapat temu muka dengan mereka adalah Arswendo Atmowiloto,  si kembar Yudhistira Ardhi Nugraha dan Noorca Marendra,  Korrie Layun Rampan (alm), yang sangat ramah dan bersahabat, Pamusuk Eneste, Mira W, dan nama-nama lain yang saat itu cukup kondang.

Lebih membahagiakan lagi, pada saat yang sama,  saya dianggap sebagai “adik” oleh seorang yang beretnis Cina berasal dari Palembang. Saya memanggilnya Om Yan. Dia sudah menganggap saya sebagai bagian dari keluarganya. Ke mana saja ketika kami pergi, selalu dia memperkenalkan saya sebagai “adiknya”, bahkan dengan anak-anaknya pun saya merasa dekat. Mereka pun menerima saya sebagai bagian dari keluarga. Hal ini berawal hanya dengan sebuah kebaikan kecil yang saya berikan pada saat dia memerlukannya. Meskipun sekarang dia sudah tiada, namun keluarganya tetap menganggap saya sebagai saudara.

Ketika saya merasa kehilangan besar atas kepergiannya, ternyata Tuhan memberikan gantinya. Seseorang yang pernah saya tulis dalam sebuah majalah lokal karena pekerjaannya sebagai pewarta kabar gembira, mengingat saya pada masa tuanya. Berkali-kali saya berkunjung ke rumahnya, dan karena suatu proyek untuk menuliskan riwayat hidupnya, saya pun telah diterima sebagai bagian dari keluarganya. Alangkah menyenangkannya!

Nostalgia dengan para seniman, baik sastra, lukis, drama dan musik telah menjadi bagian dari masa silam yang mengasyikkan untuk dikenang. Seiring kesibukan dan tuntutan kehidupan, sejak 1985 saya mendapat tugas menjadi tenaga pengajar di Universitas Siliwangi Tasikmalaya, dan kemudian pindah ke Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Sebelas April Sumedang, hingga kini. 

Memasuki era 90-an, saya menjadi tenaga pengajar luar biasa di Universitas Katolik Parahyangan, membantu Pater Brouwer untuk materi kuliah Ilmu Budaya Dasar. Dua belas tahun saya menghadapi mahasiswa dengan berbagai macam latar belakang etnis dan budaya. Toleransi tak hanya pada pikiran dan ucapan, melainkan pada tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman diterima dengan hati terbuka, menjadi sahabat dan saudara itu sungguh memperkaya wawasan dan pergaulan saya.

Pada akhir dekade 90-an, saya tidak lagi menjadi tenaga pengajar di Unpar, karena diminta bergabung dengan sebuah perusahaan eceran terkemuka di Jawa Barat untuk menjadi tenaga pelatih  (trainer) bagi karyawan di lingkungan perusahaan. Tantangan baru yang harus saya hadapi dengan belajar hal-hal baru. Berbekal pengalaman menjadi petugas serabutan pada lembaga pelatihan, saya sangat bersyukur karena dapat belajar tentang seluk beluk menjadi seorang tenaga pelatih khususnya di bidang pengembangan sumber daya manusia. 

Di perusahaan eceran ini saya belajar banyak hal. Hal-hal yang tadinya tidak saya ketahui dapat saya pelajari dari narasumbernya langsung. Saya sangat beruntung sejak di sekolah menengah memiliki kegemaran membaca. Ternyata kegemaran ini mengantarkan saya untuk mengemban amanah, melaksanakan tugas membangun kualitas sumber daya manusia untuk tidak hanya menjadi seorang karyawan yang memiliki kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan sikap) yang baik, tetapi juga menjadi manusia yang berkualitas baik.

Saya ingat kisah seorang mahasiswa yang mengikuti kuliah Blaise Pascal, suatu saat bertanya, “Pak, kalau saya sepintar Anda, saya pasti menjadi orang baik”. Pascal pun menjawab, “Jadilah orang baik dulu, maka Anda akan sepintar saya!”  Hal ini mengingatkan saya juga akan kata-kata bijak yang selalu diucapkan oleh penyiar radio Australia waktu itu, Ebed Kadarusman, “Memang baik menjadi orang penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik”. Poin untuk menjadi orang “baik” itulah yang terus menerus menghantui dan menjadi obsesi saya.

Hasil bacaan dari buku-buku para motivator kelas dunia maupun nasional banyak mewarnai kehidupan saya dalam menjalani pergaulan dengan sesama. Nama-nama seperti Norman Vincent Peal, Zig Ziglar, Robert Schuller, Dale Carnegie, Anthony Robbin, David J. Schwartz,  Bryan Tracy, Stephen R. Covey, John C. Maxwell, Doug Hooper, Rhonda Byrne, Joel Olstein, Robert T. Kiyosaki, Anthony de Mello, dll., di samping Gede Prama, Andrie Wongso,  Tung Desem Waringin, Arvan Pardiansyah, Krishnamurti, R.H. Wiwoho, Adi W. Gunawan, dll., memberikan nuansa tersendiri dalam pergaulan sehari-hari.

Sekarang saya sangat bersyukur karena dikaruniai hati yang tidak menyimpan dendam, benci, dengki, iri hati, arogan dan antipati.  Setiap menjumpai orang lain, saya menganggap menemukan saudara-saudara yang sama-sama menempuh perjalanan menuju ke satu tujuan yang sama : kebahagiaan abadi. Sejelek dan sejahat apa pun manusia, pasti masih memiliki sisi-sisi kebaikan. 

Mari kita lihat sisi positifnya. Kita memang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Seseorang telah mengirimkan pesan melalui WA: Sejak kita lahir sampai meninggalkan dunia ini kita selalu ditolong orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun